Sabtu 11 Jul 2020 13:46 WIB
Gus Dur

Gus Dur, Herbert Feith: Sholat Ashar Bersama Zainuddin MZ

Gus Dur dan ramalan Herbeth Feith

Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.
Foto: Google.com
Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fachry Ali MA, Pengamat Sosial-Keagamaan

Siapapun yang berteman dengan Indonesianis seperti Herbert Feith ‘beruntung’. Karena, didera sejarah kekejaman Nazi (yang mendorong keluarganya hijrah ke Australia), Feith menjadi pecinta kemerdekaan manusia dan anti penindasan. Inilah yg mendorongnya datang ke Indonesia awal 1950-an sebagai sukarelawan muda.

Di negara muda ini, Feith berbakti untuk pengembangan masyarakat baru merdeka. Trauma pada autoritarian NAZI mendorongnya melihat Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi, ‘maju’ dan damai. Karena itu, ia was-was terhadap setiap gejala fasisme dan autoritarian.

Kepedulian itulah kemudian tercermin pada disertasinya ‘The Decline of Constitutional Democracy’ yang kemudian terbit pada 1964. Ini berlanjut pada sebuah tulisan apiknya, ‘The Politics of Economic Decline’ 
—yang menggambarkan Indonesia masa Demokrasi Terpimpin (1959-66). Pada periode lain, hal ini pula yang menjelaskan mengapa Feith menjadi ‘aktivis’ yang menentang ‘pendudukan’ Indonesia atas Timor Timur pd 1980-an.


Dan selama saya kuliah di Monash University, Clayton, Melbourne, Feith kerap menelpon. Bahkan mengajak saya bertemu per dua pekan untuk sekedar diskusi. Tapi, jangan bayangkan diskusi itu sambil duduk. Feith mengajak saya berjalan keliling kampus. Pada saat itulah is bercerita banyak.
Salah satu ceritanya adalah tentang Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

"Ketika Kiai Wahid baru muncul akhir 1970-an,’ kata Feith tentang Kiai Abdurrahman Wahid, ‘saya sudh melihat potensi kebesarannya. Kepada kawan-kawan, saya katakan tokoh ini harus diperhatikan. Dan secara khusus pandangan ini saya sampaikan kepada Ben Anderson.

Sosok yan dimaksud terakhir itu adalah Benedict R O’G Anderson dari Cornell University dengan karya terkenalnya ‘The Idea of Power in Javanese Culture’.
 Jadi, dalam catatan saya, Herbert Feith adalah ‘penemu’ Kiai Abdurrahman Wahid di antara para pengamat Barat.

Nah, selama diskusi dalam perjalanan keliling kampus Universitas Monash langkah kerapkali terhenti ketika kami sampai ke kantin mahasiswa. Feith pamit, dan saya masuk ke kantin untuk menikmati segelas cappucino.


Maka, karena ingat cerita itulah saya menelpon Feith ketika Kiai Zainuddin MZ datang memberi ceramah pada mahasiswa Indonesia di Monash. Kegiatan ini diorganisasikan oleh Ahmad Suhelmi dari UI dan Imron Rosadi dari Universitas Jember.


"Menarik. Pukul berapa acaranya?’" kata Feith.

Saya jawab: "Pukul 03.00 sore."

Sebagaimana biasa, Feith datang tepat waktu. Ceramah Kiai Zainuddin dilaksanakan di sebuah Hall olahraga di kampus. Peserta masih sedikit. Maka Feith bisa masuk dan duduk bersila di atas karpet barisan terdepan. Karena datang lebih lambat, maka saya berada dua baris di belakang Feith. 


Yang tak disangka oleh Feith adalah acara baru dimulai setelah shalat Ashar. Maka, saya melihat Feith kaget dan bingung ketika tiba-tiba semua orang berdiri, setelah qamat dikumandangkan. Kiai Zainuddin melangkah ke depan memimpin sembahyang Asar.

Terlanjur berada di tengah barisan, Feith tidak bisa mengelak. Dengan melihat kiri dan kanan, ia berdiri. Sebagai orang yang berada di belakangnya, saya sama sekali tidak konsentrasi dalam sembahyang. Perhatian saya tertuju kepada gerak Feith.

Akibatnya, untuk takbir,  Feith harus melihat kiri dan kanan. Begitu juga juga untuk rukuk. Sayang, karena sama-sama harus sujud, saya tidak bisa melihat bagaimana Feith melakukujan sujud. Dan tentu saja, jangan tanya soal bacaan shalatnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement