Jumat 10 Jul 2020 20:31 WIB

Nilai Manfaat dari Dana Kelolaan Haji BPKH, Halal atau Riba?

Soal penempatan dana BPIH tidak boleh ditempatkan di bank ribawi (konvensional)

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Fakhruddin
Nilai Manfaat dari Dana Kelolaan Haji BPKH, Halal atau Riba? (ilustrasi).
Foto: Foto : MgRol112
Nilai Manfaat dari Dana Kelolaan Haji BPKH, Halal atau Riba? (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejak 2017, pengelolaan keuangan haji yang diperoleh dari dana jamaah dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Dalam pengelolaannya, BPKH berusaha memastikan agar ongkos haji dapat dipenuhi melalui pencapaian nilai manfaat yang diperoleh dari berbagai instrumen investasi.

Nilai manfaat (return) itu salah satunya digunakan untuk pengurang biaya haji yang riil/nyata. Sebagai contoh, untuk ibadah haji tahun 2018/2019, biaya haji riil (direct cost) atau biaya yang dibayarkan langsung oleh jamaah haji adalah sebesar Rp 35.235.602. Sedangkan indirect cost atau biaya yang bukan merupakan tanggungan jamaah haji Rp 34.764.454. Sehingga, totalnya menjadi Rp 70.000.050. Dengan adanya biaya indirect cost itu, BPKH berupaya untuk meraih nilai manfaat guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas.

Lantas, bagaimana hukum nilai manfaat dari dana haji yang dikelola oleh BPKH tersebut? Apakah boleh setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) dialokasikan ke investasi?

Pakar fikih muamalah yang juga anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Oni Sahroni, mengatakan bahwa penempatan dana haji diatur dalam peraturan perundangan-undangan terkait, yang salah satunya menegaskan bahwa seluruh investasi dana haji harus berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Berdasarkan peraturan ini, maka dana haji tidak boleh ditempatkan di bawah konvensional, di obligasi atau investasi yang tidak sesuai syariah.

Selanjutnya, menurutnya, salah satu referensi dari kesesuaian syariah tersebut adalah fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Oleh karena itu, jika investasi tersebut sudah sesuai dengan fatwa-fatwa itu, maka itu sudah sesuai syariah. Sehingga, return benefit (imbal hasil) dari penempatan tersebut halal.

"Jika ditempatkan di portofolio yang halal, maka nilai manfaat (return) itu halal. Tetapi, jika penempatan itu tidak sesuai dengan fatwa DSN MUI, maka return-nya berarti tidak halal," kata Oni, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Jumat (10/7).  

Dalam fatwa yang merupakan hasil Ijtima MUI 2012 di Cipasung, dana setoran haji calon jamaah yang termasuk daftar tunggu yang terdapat dalam rekening Kementerian Agama, selayaknya ditasharrufkan untuk hal-hal yang produktif (memberikan keuntungan) serta dikelola dengan mitigasi risiko yang tinggi. Pemerintah dibolehkan mentasharrufkan dana tersebut pada sektor yang halal, yakni sektor yang terhindar dari maisir, gharar, riba, dan lainnya.

Selanjutnya, dana hasil tasharruf tersebut adalah milik calon jamaah haji yang termasuk dalam daftar tunggu, antara lain sebagai penambah dana simpanan calon jamaah haji atau pengurang biaya haji yang riil/nyata.

Sementara itu, soal penempatan dana BPIH, fatwa DSN MUI tersebut menetapkan bahwa tidak boleh (haram) ditempatkan di bank-bank ribawi (konvensional). Sebab, haji merupakan perbuatan ibadah yang suci yang harus terhindar dari yang haram dan syubhat. Karena itu, dana BPIH seharusnya ditempatkan oleh pemerintah pada bank-bank syariah.

Peneliti Ekonomi Syariah di SEBI School of Islamic Economics, Aziz Setiawan, mengatakan bahwa secara umum nilai manfaat dari dana yang dikelola BPKH adalah nilai hasil investasi atau return dari seluruh portofolio investasi BPKH dari seluruh dana masyarakat yang dikelola. Dalam pengelolaan investasi ini, BPKH terikat oleh prinsip-prinsip syariah dan ketentuan Undang-undang Keuangan Haji.

"Dengan demikian, portofolio investasi BPKH harus sesuai syariah, sehingga hasil investasi atau return-nya juga halal secara syariah dan bukan riba. Karena seluruh penempatan investasinya pada berbagai instrumen investasi seperti deposito syariah dan sukuk yang harus sesuai syariah," kata Aziz, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Jumat (10/7).

Dalam perkembangan saat ini, Aziz menuturkan bahwa portofolio sukuk atau surat berharga syariah negara (SBSN) masih dominan menjadi tumpuan utama BPKH dalam menginvestasikan dana kelolaanya. Hal ini karena SBSN memiliki return atau imbal hasil yang tinggi.

Tahun ini, target return dari portofolio investasi BPKH atau nilai manfaat investasi dana haji sebesar Rp 8 triliun. Angka target itu meningkat dibanding pencapaian pada 2019, di mana nilai return atau nilai manfaat pengelolaan dana haji mencapai Rp 7,2 triliun.

Aziz mengatakan, bahwa selain investasi di luar perbankan syariah, BPKH juga menginvestasikan dana di instrumen yang memiliki tingkat risiko rendah dan low to moderate. Investasi itu paling banyak dilakukan pada instrumen keuangan milik negara atau sukuk dan dijamin oleh negara.

Agar lebih aman pula, menurutnya, portofolio investasi terbesar yang dimiliki oleh BPKH adalah instrumen fixed income syariah, seperti Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), sukuk korporasi yang diterbitkan oleh perusahaan BUMN dan KIK-EBA syariah.

Selain itu, BPKH juga bekerja sama dengan sejumlah bank syariah untuk menyalurkan pembiayaan sebagai bagian dari investasinya. Berdasarkan Peraturan BPKH Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Tatacara dan Bentuk Investasi Keuangan Haji, BPKH juga bisa melakukan investasi di instrumen saham, selama investasi ini ditempatkan pada saham dan reksa dana saham syariah. Akan tetapi, hal ini belum dilakukan karena risiko fluktuasi saham yang tinggi.

Hingga akhir 2019 lalu, total dana kelolaan (asset under management/AUM) BPKH mencapai Rp 125 triliun. Dana tersebut ditempatkan dalam dua kelompok investasi, yakni perbankan syariah dan investasi, dengan porsi masing-masing 44 persen dan 56 persen. Dari penempatan dana tersebut, sepanjang 2019 BPKH memperoleh nilai manfaat investasi senilai Rp 7,29 triliun.

"Jadi karena portofolio investasinya BPKH sesuai syariah, sehingga return atau nilai manfaat yang dihasilkan adalah halal dan bukan riba," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement