Jumat 10 Jul 2020 13:40 WIB

Covid-19, Momentum Merebut Kembali Kedaulatan Telekomunikasi

Momentum Covid-19 harus menjadi titik balik paradigma telekomunikasi di tanah air.

Virus corona (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Virus corona (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR. Abdul Karim, S.H., M.IKom

Tahun 1992 Francis Fukuyama menulis buku The End of History and The Last Man untuk menggambarkan kemenangan demokrasi dan kapitalisme dalam pertarungan ideologi melawan komunisme. Namun hanya sekitar satu dekade, Fukuyama meninjau ulang pemikirannya setelah mendapati kenyataan bahwa masih terjadi ketimpangan-ketimpangan, peperangan, wabah penyakit, kemiskinan absolut, dan terorisme global. Hal itu terjadi, menurut Fukuyama karena hilangnya dimensi kenegaraan sehingga peran Negara jadi rapuh.

Tahun 2004 Fukuyama menulis buku State building: Governance and World order in the 21st century sebagai refleksi atas tesis dia sebelumnya. menurut Fukuyama dalam buku itu, negara harus memiliki otoritas dan kapasitas besar dalam menentukan arah kebijakan ekonomi maupun politik.

Mengenai hadirnya negara di setiap realita menjadi diskursus di Indonesia belakangan ini. Setiap ada peristiwa ketidakadilan, selalu banyak yang mempertanyakan kehadiran negara. Walau hanya sekedar untuk merespon peristiwa biasa.

Pertanyaan-pertanyaan itu menggambarkan seolah-olah Negara banyak absen. Padahal kalau kita simak isi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, banyak sekali pasal-pasal yang mengatur kehidupan rakyat.

Dalam pembukaan UUD NRI 1945 disebutkan tujuan dibentuknya Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Cita-cita idealis itu menyebar ke berbagai pasal di dalam batang tubuh kemudian menjadi berbagai undang undang.

Program wajib belajar, kebijakan layanan kesehatan, program-program praktis untuk rakyat miskin mengindikasikan kehadiran negara. Namun mengapa pertanyaan itu masih juga ada? Adakah Negara telah melupakan fungsi-fungsinya karena terlalu asyik berdemokrasi.

Covid-19 tiba-tiba mengguncang dunia. Pemerintah menggelar model PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan bukan karantina (lockdown) untuk mengatasi wabah. Dengan cara PSBB maka risiko dipikul bersama oleh negara dan rakyat.

Ratusan triliun dialokasikan Pemerintah untuk penanganan Covid-19 baik lasngsung maupun tidak langsung, itu bagian tanggung jawab negara. Sementara rakyat merelakan dirinya stay at home, membatasi kebebasan yang sebelumnya leluasa digunakan. Itu bagian tanggung jawab rakyat untuk kepentingan bersama.

Namun karena APBN tidak menanggung semua beban hidup rakyat yang stay at home, maka masyarakat harus tetap bergerak meski di bawah bayangan pembatasan. Kalau tidak bergerak maka social distancing bisa-bisa berlanjut menjadi social dying.

Untuk bergerak secara terbatas, masyarakat dunia menemukan jawabannya yaitu teknologi. Maka muncullah konsep-konsep everything from home dengan memaksimalkan fitur-fitur teknologi informasi.

Bagi sebagian orang kerja via daring itu sudah jadi kebiasaan normal, mereka itu adalah kelompok yang sudah memahami internet of thing (iot), tetapi bagi mayoritas awam, kerja on line masih new normal. Termasuk Pemerintah sendiri belum punya “rencana teknis cadangan” untuk memutar roda pemerintahan di atas platform daring. 

Di tengah kepanikan itu baru mata kita terbuka lebar bahwa dalam keadaan di mana teknologi informasi menjadi andalan utama, baru tersadar kita semua masih mualaf teknologi. Maka zoom, google hangout, skype, cisco webex dan sederet perangkat teknologi buatan asing lainnya menjadi dewa penolong atas ketidakberdayaan itu.

Setidaknya saya belum tahu apakah ada produk teknologi informasi karya anak negeri yang dapat diandalkan untuk mengganti aplikasi buatan luar itu. Di sini bolehlah kita bertanya, kemana Negara selama ini?

Anak-anak sekolah diliburkan, tetapi mereka tetap wajib menjalankan undang undang sistem pendidikan nasional yaitu belajar. Sebagian kecil materi belajar disiarkan via TVRI. Anak-anak wajib menonton siaran itu dan orang tua mereka mendokumentasikan kegiatan nonton TV tersebut yang kemudian mengirimkannya ke guru melalui handphone. Pekerjaan rumah dikirim oleh guru-guru melalui aplikasi WhatsApp (WA), hasil PR dikirim balik ke guru-guru mereka, lewat daring.

Dalam salah satu press conference, jubir Gugus Tugas Covid-19 meminta agar masyarakat sedapat mungkin menggunakan fasilitas telemedicine supaya dan tak perlu ke Puskesmas saat sakit. Sungguh ini kemajuan yang radikal andai layanan kesehatan berbasis daring itu memang benar-benar telah ada.

Di Malaysia, undang undang telemedicine telah ada lebih dari duapuluh tahun lalu. Dalam Undang Undang Kesehatan milik Indonesia bahkan kata-kata telemedicine itu tidak ditemukan, tetapi Kementerian Kesehatan sudah punya visi bahwa telemedicine itu diperlukan, mengingat luasnya geografis NKRI.

Menkes telah mengeluarkan Peraturan Menteri tentang itu, tetapi hanya dalam batas jaringan antar kantor guna percepatan pertukaran data medis. Telemedicine versi Indonesia belum meng-cover layanan diagnosa jarak jauh oleh dokter terhadap pasien.

Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menyebut kegiatan belajar jarak jauh masih tetap akan dilaksanakan selama pandemik Covid-19 masih ada. Saya kira rencana tersebut sangat baik, semesta Indonesia harus mendukung gagasan visioner ini. Bidang-bidang lainnya pun sepantasnya memikirkan hal itu, karena nyaris 100 persen kegiatan manusia saat ini tidak ada yang bisa lepas dari penggunaan teknologi informasi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement