Kamis 09 Jul 2020 23:16 WIB

Tren Aduan Pelanggaran ASN di Pilkada Berpotensi Meningkat

Data aduan pelanggaran ASN pada tiga pilkada sebelumnya naik signifikan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
KASN meminta penundaan Pilkada 2020 jangan menjadi perpanjangan waktu pelanggaran netralitas.
Foto: doc humas KASN
KASN meminta penundaan Pilkada 2020 jangan menjadi perpanjangan waktu pelanggaran netralitas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Dian Permata mengatakan, tren aduan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 berpotensi meningkat lima sampai enam kali lipat. Hal itu dilihat dari data aduan pelanggaran pada tiga pilkada sebelumnya yang naik signifikan.

"Potensi kenaikannya setiap pilkada mencapai lima sampai enam kali lipat. Dari 10 persen hingga 296 persen. Bahkan, data dinamis untuk Pilkada 2020, sudah mencapai 136 persenan," ujar Dian dalam diskusi virtual, Kamis (9/7).

Baca Juga

Ia memerinci, data aduan pelanggaran netralitas ASN yang tercatat pada Pilkada 2015 ada 29 aduan dan tahun 2016 terdapat 55 aduan. Berikutnya, Pilkada 2017 jumlahnya sedikit menurun menjadi 52 aduan.

Namun, pada Pilkada 2018, jumlah aduan meningkat tajam menjadi 507 aduan. Pada Pemilu 2019 juga tercatat ada 990 aduan. Sedangkan, Pilkada 2020 yang tahapannya baru berlangsung setengah jalan, aduannya sudah mencapai 415 kasus.

"Artinya, secara pukul rata dari 270 wilayah yang melaksanakan Pilkada 2020, setiap daerah mempunyai peluang ada satu hingga dua laporan aduan," ujar Dian.

Potensi aduan masyarakat atau lainnya yang menyoal netralitas ASN akan bergeser ke dunia maya karena kampanye dan sosialisasi diperkirakan lebih banyak dilakukan secara daring. Kanal media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dinilai menjadi tempat favorit para kandidat untuk berkampanye.

"Karena kanal membuka ruang interaksi juga antara kandidat dengan pemilih. Bisa saja komentar atau tanda jempol (like/suka) sebagai bentuk dukungan menjadi model aduan terbanyak," kata Dian.

Menurut dia, alasan terjadi pelanggaran netralitas karena ASN dianggap mampu menggerakan potensi sosial dan politik peserta pilkada. Apalagi, jika pejawat kepala daerah baik gubernur, bupati, maupun wali kota maju kembali dalam pilkada, potensi pelanggaran netralitas ASN semakin meningkat.

ASN mengalami dilema karena berpotensi mendapatkan ancaman pencopotan dari jabatannya jika tidak mendukung pejawat. Sehingga, para pegawai menjadi sasaran kepala daerah yang maju kembali dalam pilkada untuk mendulang dukungan dan suara.

Ia menyinggung kasus Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) terhadap Bupati Kudus, Muhammad Tamzil, yang diduga menerima suap terkait pengisian jabatan kepala dinas di wilayahnya, beberapa bulan usai pilkada. Kasus ini menguatkan peran khusus kepala daerah dalam pengisian jabatan di pemerintah daerah.

Dian mengatakan, beragam persoalan yang bersinggungan dengan netralitas ASN di pemilihan merangsang wacana publik terkait pencabutan hak politik mereka. SPD mengolah hasil riset Founding Father House (FFH), lalu data menunjukkan, publik terbelah menyikapi hal tersebut.

Sejumlah responden menyatakan sangat setuju dan setuju hak politik ASN dicabut dengan rincian, Pilkada 2017 di Brebes, terdapat 25,23 persen, Pilkada 2018 di Kota Sukabumi mencapai 24,09 responden, Pemilu 2019 hingga 30,75 persen, dan data sementara di suatu daerah di Sumatera menunjukkan angka 28,87 persen.

Namun, responden yang menginginkan agar ASN tetap memiliki hak politik jumlahnya lebih besar. Responden juga berharap ASN menjadi bagian dari masyarakat sipil yang mau menyukseskan kontestasi pemilihan.

"Yang tidak setuju dicabut ini ya masih cukup besar sekitar 66 persen bahwa mereka tetap tidak ingin hak politik ASN dicabut," kata Dian.

Ia mendorong ASN mematuhi regulasi yang ada dan menolak dengan tegas jika ditarik ke arah dukung-mendukung kandidat, terutama oleh pejawat. Menurut dia, ASN harus kembali ke muruahnya sebagai pelayanan masyarakat.

Sebab, kepercayaan masyarakat agar ASN netral di pemilihan cukup tinggi. Pada Pilkada Brebes, sekitar 77 persen publik sangat setuju dan setuju ASN netral, Pilkada Kota Sukabumi, sekitar 76 persen, Pemilu 2019 sekitar 82 persen, dan Pilkada 2020 sekitar 84 persen.

"Mayoritas publik, ingin ASN netral dalam pemilu," kata Dian.

Akibat pelanggaran netralitas ASN ini, maka masyarakatlah yang terkena imbasnya karena pelayanan publik menjadi tidak maksimal. Ia meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) lebih ketat lagi mengawasi Pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement