Kamis 09 Jul 2020 21:04 WIB

Sultan HB X: Warga Merapi tak Perlu Diajari Bahaya Erupsi.

Dibandingkan dahulu, aktivitas Gunung Merapi saat ini sudah berubah.

Puncak Gunung Merapi yang diselimuti awan terlihat dari Bronggang, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (9/7/2020). Menurut data pengamatan Balai Penyeledikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) terjadi peningkatan deformasi atau perubahan bentuk tubuh gunung sebesar 0,5 cm per hari dan pergerakan magma Gunung Merapi. BPPTKG selanjutnya mengimbau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY untuk mensosialisasikan kesiapsiagaan menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/aww.
Foto: Hendra Nurdiyansyah/ANTARA FOTO
Puncak Gunung Merapi yang diselimuti awan terlihat dari Bronggang, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (9/7/2020). Menurut data pengamatan Balai Penyeledikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) terjadi peningkatan deformasi atau perubahan bentuk tubuh gunung sebesar 0,5 cm per hari dan pergerakan magma Gunung Merapi. BPPTKG selanjutnya mengimbau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY untuk mensosialisasikan kesiapsiagaan menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/aww.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X meyakini warga yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi lebih memahami bahaya erupsi yang berpotensi terjadi di sekitar mereka. "Mereka tidak usah diajari, apalagi yang mengajari orang kota enggak mengerti. Dia (warga Merapi) yang lebih mengerti," kata Sultan HB X di Gedhong Pracimasana, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Kamis.

Menurut Sultan, dibandingkan dahulu, aktivitas Gunung Merapi saat ini sudah berubah. Jika terjadi erupsi, menurutnya, magma yang dikeluarkan memiliki jarak luncur yang terbatas. "Biarpun punya aktivitas mengeluarkan magma, tapi kan akhirnya  araknya terbatas dan tetap di atas," kata Raja Keraton Yogyakarta ini.

Baca Juga

Sultan menilai selama ini warga di lereng Gunung Merapi telah memiliki kesiapan diri yang bagus ketika sewaktu-waktu terjadi bencana. Menurut dia, warga Merapi tidak pernah meletakkan barang-barang berharga di lemari melainkan dibungkus beserta pakaian ganti yang setiap saat bisa segera dibawa saat harus mengevakuasi diri.

"Jadi surat berharga seperti surat tanah, emas, uang itu sudah ditaruh di kain yang diikat. Tinggal itu yang dibawa pergi, yang lainnya ditinggal," kata dia.

Selain itu, lanjut Sultan, mereka juga mampu memahami sejumlah pertanda bahaya seperti jika muncul hewan-hewan yang turun dari kawasan puncak Gunung Merapi. "Selama tidak ada hewan yang akan mengungsi, selama itu tidak akan ada lava yang turun. Mereka tahu hal-hal seperti itu. Jadi tidak usah diragukan, tidak usah ada kampanye masalah bencana di Merapi," kata dia.

Meski demikian, Sultan berharap dengan kemajuan teknologi yang dimiliki Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) untuk mengidentivikasi aktivitas Merapi, upaya peringatan dini kepada masyarakat bisa lebih optimal.

Menurut Sultan, BPPTKG akan memasang peralatan identivikasi yang baru untuk mengganti alat yang sebelumnya telah rusak.

Kepala BPPTKG Yogyakarta Hanik Humaida menyebutkan deformasi berupa penggembungan bentuk tubuh Gunung Merapi yang terjad saat ini, belum mengubah jarak bahaya yang ditetapkan sebelumnya. "Rekomendasi jarak bahaya masih sama, yaitu dalam radius tiga kilometer dari puncak Gunung Merapi," katanya.

Selain itu, kata dia, potensi ancaman bahaya juga masih sama, yakni berupa luncuran awan panas dari runtuhnya kubah lava dan lontaran material akibat erupsi eksplosif. "Hingga hari ini, potensi ancaman bahaya masih di bukaan kawah utama, yaitu di sektor tenggara-selatan (Kali Gendol)," kata Hanik. BPPTKG masih mempertahankan status Gunung Merapi pada Level II atau Waspada.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement