Jumat 10 Jul 2020 04:31 WIB
Jakarta

Derita Rakyat Jakarta di Awal Merdeka dalam Arsip Belanda

Kemiskinan dan derita hidup pemandangan sehari-hari rakyat Jakarta.

Suasana Jakarta pada zaman Jepang.
Foto: Gehetna.nl
Suasana Jakarta pada zaman Jepang.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Suryadi, MA., Dosen dan Peneliti di Department of South and Southeast Asian Studies, Leiden University, the Netherlands.

Iniah catatan tertulis Rose Eduard tentang situasi di Jakarta yang dibuat sekitar tiga bulan setelah naskah Perundingan Linggardjati disetujui secara resmi oleh pihak Belanda dan Indonesia pada 25 Maret 1947.

Kisah ini ada dalam arsip Mingguan Sadar No. 7, Djum’at, 20 Djuni 1947, hlm. 8-9, 2. (Sambungan  berada di halaman yang lebih awal, ini mungkin karena kesalahan tata letak). Disebutkan bahwa tulisan ini akan disambung (dalam edisi Sadar berikutnya), tapi sambungannya belum saya temukan karena seluruh edisi majalah ini tidak lengkap tersedia di Leiden University Library, tempat artikel ini saya temukan.

Ejaan disesuaikan. Angka dalam tanda “{ }” merujuk pada halaman asli majalahnya. Kata-kata dalam tanda “[ ]” merupakan tambahan dari penyalin.

Sebagaimana telah dicatat dalam sejarah, kesepakatan dalam Perundingan Linggarjati tersebut akhirnya dilanggar sendiri oleh Belanda dengan melakukan Agresi I dan 2 yang menimbulkan banyak korban berjatuhan di pihak Indonesia dan juga tak sedikit di pihak Belanda. Sejarah selalu mencatat tentang ‘mulut pencong’ dan tipu-tipu para politisi dan penguasa penuh nafsu duniawi yang tak penah merasa bersalah dan malu melecehkan martabat sesama manusia.

Dan, prediksi Rose Eduard, penulis artikel ini, akhirnya menjadi kenyataan. Belanda mengalami persis seperti apa yang dibayangkannya dalam paragraf akhir tulisannya ini: “Bila pertempuran […] terpaksa terjadi juga, Jakartalah tempat di mana Belanda akan tercampak ke Laut Jawa…. .”

Japanse soldaten marcheren door Batavia na de capitulatie van de Nederlands-Indische regering in de Tweede Wereldoorlog. 8 maart 1942.

  • Keterangan foto: Tentara Jepang berparade di jalanan Jakarta tahun 1942.

Begini tulisan Rose Eduard pada awal kemerdekaan itu:

Keadaan yang menyesakkan dada seperti beberapa bulan sesudah proklamasi tidak ada lagi. Pengeroyokan dan pembersihan sudah lalu. Tetapi penangkapan secara terang-terangan atau menculik masih berlaku sekali-dua kali. Pertempuran jalan (straatgevechten) antara pemuda-pemuda Indonesia dengan tentara Serikat tidak ada lagi. Tetapi, straatgevechten ini kini merupakan garis pertahanan yang nyata dan setiap waktu [bisa]  berubah jadi front dan stellinggevechten. Walau demikian, kota Jakarta tak ubahnya dengan kota Jakarta dua abad yang lalu, masa Kompeni melebarkan daerahnya dengan kekuatan bangsa Indonesia sendiri.

Jakarta sejak dulu mempunyai pengalaman yang romantis, naik turun dalam gelombang jaman. Rupa-rupanya hingga saat ini ia masih harus mendapat pengalaman hebat dan tak ’kan habis-habisnya.

Tahun 1947……

Kalau kita langkahkan kaki ke jalan raya, pemandangan pertama yang tampak oleh kita ialah serdadu dari angkatan perang Belanda. Bila kulitnya hitam, tertawanya banyak dan mukanya merah-segar kehitam-hitaman sebagai tanda ucapan terima kasih pada kelepasannya dari kemelaratan di jaman Jepang.

Kalau kulitnya kuning dan bermata sipit, sinar mukanya suram dan bengis. Mereka adalah alat kapitalis-kapitalis Tionghoa yang ditempatkan dalam angkatan perang Belanda, suatu tipu muslihat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan kapitalis-kapitalis itu dalam masa pergolakan politik dan militer sekarang ini.

Dan kalau kulitnya putih, mereka memanggul tas kecil atau besar, diiring-iringkan anak-anak Tionghoa. Kalau [Belanda] totok ini sampai di sudut jalan, tasnya dibuka. Anak-anak Tionghoa itu merubung melihat barang-barang yang dikeluarkan dari tas itu. Macam-macam minuman keras, rokok kalengan, obat-obatan. Tawar-menawar pun menyusul. Dengan tas kosong totok-totok itu masuk membeli buah-buahan dan tembakau molek buatan Kedu (?)

Jalan-jalan yang tak terurus sama sekali di jaman Jepang sebagian telah diperbaiki oleh pihak kita bersama-sama dengan pihak Belanda. Kebanyakan yang mengerjakan ialah anak-anak kecil yang murah tenaga kerjanya.

Rumah-rumah sebagian besar diisi oleh lebih dari satu keluarga. Untuk mendapat rumah sewaan orang harus membayar uang-kunci antara R[p] 200,- – R[p] 5000,-, merah atau uang putih. Tetapi kebanyakan huruf R [rupiah] itu diganti dengan F [gulden].

Masalah yang kita hadapi di Jakarta ini umumnya hanya dua: sosial dan ekonomi. Kedua-duanya mengalami kesulitan. Tetapi kita belum tahu lagi apakah ini sudah sampai pada puncak kesulitannya. Di mana-mana terdengar keluh kesah pegawai: gaji rendah, pembagian [pangan] kurang lengkap dan dengan harga tinggi pula. Di jalan-jalan besar, pemandangan seperti dalam jaman Jepang berulang lagi, orang menggelimpang[an] mati kelaparan.

Pengemis kembali jadi beribu-ribu [banyaknya], berkeliaran mencari sisa roti dari tangsi-tangsi. Anak-anak kecil bergelandangan, sonder pendidikan, dengan memanggul beban penderitaan lahir dan batin. Anak-anak ini, mungkinkah kelak berguna untuk tanah airnya setelah begitu lama mengalami begitu banyak penderitaan? Kita sangsi bila perjuangannya di kemudian hari cuma sampai pada lapangan seksuil belaka.

Orang yang mati [yang] tak terurus di Jakarta, bila dibandingkan lebih banyak, atau setidak-tidaknya seimbang dengan korban perjuangan pemuda-pemuda kita selama mempertahankan Jakarta. Pernah tampak di Tanah Abang dalam jam yang sama diusung sepuluh mait [mayat] ke tempat yang penghabisan [kuburan].

IND-461203-BATAVIA: Soldaten van de Nederlandse 7 december divisie, lossen de Brits Indische troepen af bij de bewaking van het geallieerde hoofdkwartier. ANPFOTO/ANETA. 03-12-1946

  • Keterangan Foto: Tentara dari Divisi 7 Desember Belanda, membebaskan pasukan India Inggris untuk menjaga markas Sekutu di Jakarta pada 12 Maret 1946

Dari sini kita bisa melihat bahwa sesudah kekalahan pihak rakyat dalam soal pertahanan kini, perjuangannya dalam lapangan sosial dan ekonomi serasa tinggal nafasnya saja. Sonder tenaga, sonder semangat. Sudah bolehkan ini disebut kekalahan yang kedua?

Cobalah berjalan-jalan antara jam 07:00 dan 11:00 pagi di Jakarta kota. Alangkah banyak tubuh yang cokelat dirujaki penyakit kulit, bergulung dalam selimut karungnya di bawah tiang-tiang, di pendapa gedung-gedung kosong. Setengah di antara mereka kurus kering, dan [mereka adalah] orang[-orang] lapar [yang] tak mempunyai tanah air. Di antara mereka ada juga yang dipungut oleh Kartalegawa [Presiden Negara boneka Belanda Pasundan].

Salah seorang juru kunci kuburan berkata pada saya: di jaman Jepang, mereka yang mati kebanyakan gemuk oleh beri-beri, tetapi yang mati sekarang kurus kering seperti sebilah papan dan kebanyakan karena rusak [tubuh] dalamnya, dada….

Dokter tidak kurang di Jakarta, tetapi jangan disangka bahwa di antara mereka tidak ada yang meletakkan hidupnya di atas air mata dan kesakitan rakyat. Barangkali tuan heran mendengar berita, di depan rumah seorang dokter terguling mait seorang yang kena penyakit borok, tidak terurus. Hanyalah karena ia tidak mempunyai uang untuk pergi kepada dokter.

Nilai Uri [Uang Republik Indonesia] tidak pernah stabil, terus berkicik ke bawah. Tambah lama tambah besar kecurigaan rakyat pada pedagang-pedagang uang. Pedagang-pedagang uang inilah yang harus bertanggung jawab pada kesengsaraan pegawai dalam perjuangannya dan kematian beribu-ribu rakyat yang tak mampu makan, tak mampu membeli obat.

Sebagai gambaran dari harga uang Uri, barangkali ada baiknya {8} saya katakan bahwa untuk membeli [sebutir] telur ayam orang harus membayar R[p] 1,50, untuk sebungkus rokok Daulat dari 20 batang R[p] 7,-. Keadaan yang demikian untuk pegawai bukan suatu keadaan yang menyenangkan, jauh di bawah garis yang normal. Apalagi kalau kita ingat bahwa gaji pegawai kantor paling rendah R[p] 30,- sebulan yang berarti [hanya] 4,5 bungkus rokok Daulat. Keadaan seperti ini harus segera diperbaiki dengan jalan memperbanyak pembagian [barang-barang kebutuhan sehari-hari] dan dengan harga yang serendah-rendahnya.

Sebagai akibat dari jatuhnya Uri, semangat pegawai pun kendor. Kalau kita datang ke sebuah kantor Republik, tak jarang kita dengar percakapan mereka tentang catut. Dan bila dengan secara berbisik-bisik, [itu] tentu soal buruk. Terutama bagi pegawai-pegawai yang mendapat pesawat tilpun, sehari-harian mereka mencari perhubungan tentang catutan. Tak jarang pula pekerjaan yang bisa diselesaikan jam itu, diperlamakan hingga berhari-hari, kadang-kadang malah berminggu-minggu.

Di Jakarta, seperti di daerah-daerah Republik, juga ada dua macam kantor, yakni kantor yang sejak dahulu sudah ada, seperti kantor pos, kantor pajak, kantor listrik dan gas, [dan]  jawatan kereta api. Kedua, kantor baru yang adanya baru dalam jaman kemerdekaan ini, seperti [kantor] penerangan, kementerian-kementerian, dll. Dalam kantor-kantor lama pegawainya tua-tua, pegawai dari jaman Belanda melalui jaman Jepang ke jaman merdeka. Sikapnya pun sikap lama dan dengan gaji menurut aturan lama pula, artinya tak cukup untuk hidup sederhana, ditambah dengan ongkos kesehatan dan kegembiraan keluarganya.

[Sisi] baiknya, dengan gembira pegawai-pegawai ini teguh pada pendiriannya, untuk republik. Pengorbanan mereka terlalu besar, kadang sampai membiarkan anggota keluarganya masuk kubur dengan tak diobati, suatu korban yang sia-sia, atau tak mengirimkan anaknya ke sekolah lanjutan. Sebaliknya, di kantor-kantor baru, yang tampak sebagian besar ialah pemuda-pemuda yang baru lepas dari sekolah, dengan semangat yang kuat dan nyata dan sedikit banyaknya turut mengikuti suasana politik pada waktu ini. Tidak jarang mereka ini mendapat gaji jauh lebih banyak dari pegawai-pegawai yang telah dinas berpuluh-puluh tahun di kantor-kantor yang sama.

Dalam kehidupan pegawai-pegawai ini tidak jarang terdengar perkataan: “Si A hari ini keluar, lari ke pihak sana. Tetapi tidak jadi apa, kami yakin jiwanya tetap jiwa republik. Kita hanya menanti saatnya saja.” Perkataan itu hanya sampai di situ saja. Tapi berulang-ulang diucapkan orang.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement