Kamis 09 Jul 2020 17:57 WIB

Hamka Tolak Deklarasi HAM: Dari Nikah hingga Murtad

Buya Hamka mempunyai pandangan tegas atas sejumlah pasal deklarasi HAM.

Buya Hamka mempunyai pandangan tegas atas sejumlah pasal deklarasi HAM. Ilustrasi Buya Hamka dan istrinya
Foto: Google.com
Buya Hamka mempunyai pandangan tegas atas sejumlah pasal deklarasi HAM. Ilustrasi Buya Hamka dan istrinya

REPUBLIKA.CO.ID, Prof Dr Hamka mempunyai sikap tersendiri terhadap Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), yang ditetapkan PBB, pada 10 Desember 1948.

Sikap tersebut sebagaimana dikutip dari sebuah artikel panjang berjudul "Perbandingan Antara Hak-hak Asasi Manusia Deklarasi PBB dan Islam."   

Baca Juga

Setelah membaca pasal-pasal dalam DUHAM, Hamka sampai pada kesimpulan bahwa semua pasal itu enak buat dibaca, meskipun anggota-anggota PBB itu sendiri masih banyak yang belum menjalankannya. 

“Tetapi ayat 1 dari pasal 16 dan pasal 18 tidak bisa saya terima.  Sebab apa saya tidak dapat menerimanya? Sebab saya orang Islam. Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah Islam statistic. Saya seorang Islam yang sadar, dan Islam saya pelajari dari sumbernya; Alquran dan hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam, tetapi syariatnya tidak saya jalankan atau saya bekukan. “ 

Pasal 16 ayat 1 DUHAM berbunyi: Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.   

Menurut Hamka, dalam syariat Islam, pembatasan karena suku dan kebangsaan tidak ada. Oleh karena itu hal ini sangat sesuai dengan syarit Islam. Sebab apabila orang telah sama kepercayaannya dalam Islam, tergabunglah dia menjadi satu umat, yaitu umat Islam. Asal ada persesuaian kedua belah pihak, dan halal kawin menurut agama, karena tidak ada pelanggaran kepada ketentuan mendirikan rumah tangga. 

“Tetapi tentang agama, mesti ada pembatasan. Pembatasan itu ditentukan Alquran dan hadits.  Seorang laki-laki pezina tidaklah boleh mengawini kecuali perempuan yang pezina pula atau perempuan musyrik. Dan seorang perempuan pezina tidaklah boleh dinikahinya, kecuali lakilaki pezina atau musyrik, dan haram yang demikian itu atas orang-orang beriman (Surat 24, an-Nuur ayat 3). Juga dalam Surat al-Maidah ayat 51, dijelaskan lagi: Barangsiapa yang berpihak kepada mereka dari kalangan kamu, Maka dia itu telah termasuk golongan mereka.”

Pasal lain yang ditolak oleh Hamka adalah hak murtad, sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 DUHAM: “Setiap orang mempunyai hak untuk berpikir, berperasaan dan beragama. Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kemer dekaan baik secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan tertutup, untuk memperlihatkan agama dan kepercayaannya dengan mengerjakannya, mempraktikkannya, menyembahnya dan mengamalkannya.” 

Hamka menulis, “Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan. Katakata ini tidak dapat diterima oleh orang Islam, sebab sangat bertentangan dengan pokok dasar dan pegangan Agama Islam. Dalam Agama Islam, seorang yang meninggalkan Islam, sehingga tidak beragama sama sekali, atau pindah kepada agama lain; Murtad namanya. Bagi orang Islam menerima pasal 18 dari Hakhak Azasi Manusia dengan tidak menghilangkan kalimat; Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, berarti mereka telah turut dengan orang yang bukan Islam yang merencanakan hak asasi manusia ini, untuk meruntuhkan Islam dengan sengaja atau karena tidak tahu.”  

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement