Kamis 09 Jul 2020 16:13 WIB

Fatwa Qardhawi: Hikmah Poligami Rasulullah SAW (2)

Nabi Muhammad menikahi Siti Khadijah yang berusia 40 tahun dengan beberapa anak

Rep: Syahrudin el-Fikri/ Red: Elba Damhuri
Kaligrafi Muhammad SAW. Ilustrasi
Foto: .
Kaligrafi Muhammad SAW. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID -- Jika kita bayangkan bahwa Allah menyuruh Nabi memilih empat orang untuk menjadi ibu-ibu kaum mukmin di antara sembilan istri beliau, dan menceraikan lima orang lainnya yang berarti menghalangi mereka untuk mendapatkan kemuliaan, ini tentu merupakan sesuatu yang sangat sulit.

Siapakah di antara wanita-wanita utama itu yang harus dijauhkan dari rumah tangga kenabian dan dijauhkan dari kemuliaan yang telah mereka peroleh itu?

Karena itu, berlakulah kebijaksanaan dan hikmah Ilahi agar mereka tetap menjadi istri-istri beliau, sebagai kekhususan bagi Rasul yang mulia dan sebagai pengecualian dari kaidah umum.

Allah berfirman, “... bahwasanya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid: 29).

 

Adapun masalah perkawinan Nabi SAW dengan sembilan istri, rahasianya sudah dimaklumi dan hikmahnya sudah tidak samar lagi.

Semua perkawinan yang dilakukan Nabi itu tidak mempunyai tujuan sebagaimana yang difitnahkan oleh para orientalis dan misionaris. Bukan syahwat dan bukan pula aspek biologis yang mendorong Nabi SAW dalam mengawini setiap mereka.

Kalau yang mendorong beliau melakukan perkawinan itu seperti yang dikatakan dan didesas-desuskan oleh para pembohong dan dajjal-dajjal itu, niscaya kita tidak akan melihat beliau yang masih muda belia, yang penuh vitalitas, dan dalam usia yang potensial ini membuka lembaran hidupnya dengan mengawini wanita yang lima belas tahun lebih tua daripada usianya sendiri.

Ternyata, beliau SAW mengawini Khadijah ketika berusia dua puluh lima tahun sementara Khadijah sudah berusia empat puluh tahun dan sebelumnya telah dua kali menikah dan punya beberapa orang anak.

Kalau Nabi menikah karena dorongan syahwat dan biologis, tak mungkin beliau menghabiskan usia mudanya yang merupakan usia paling menyenangkan dalam kehidupan bersuami istri beliau gunakan untuk hidup bersama dengan wanita tua.

Tahun kematian Khadijah saja disebut dengan “Amul Huzni” (Tahun Duka Cita). Beliau selalu memuji Khadijah dengan penuh kecintaan dan penghormatan sampai meninggal dunia, sehingga Aisyah RA merasa cemburu kepadanya (Khadijah) yang sudah berada di dalam kubur itu.

Setelah beliau berusia lima puluh tiga tahun, yakni setelah Khadijah wafat dan setelah hijrah, baru beliau mengawini istri-istri beliau yang lain, yaitu mengawini Saudah binti Zam’ah, seorang wanita tua, untuk memelihara rumah tangga beliau.

Kemudian beliau hendak mempererat hubungan antara beliau dengan teman dan sahabatnya, Abu Bakar, “... salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua...” (QS. At-Taubah: 40).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement