Kamis 09 Jul 2020 00:45 WIB

Umat Wajib Kawal Pembahasan RUU HIP

RUU HIP ini akan menghadirkan aksi lebih besar dari Aksi 212 jika tak dibatalkan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Peserta aksi dari Aliansi Jogja Bersatu menggelar unjuk rasa di Titik Nol Yogyakarta, Senin (6/7). Dalam aksinya mereka menuntut pencabutan RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP) di DPR RI.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Peserta aksi dari Aliansi Jogja Bersatu menggelar unjuk rasa di Titik Nol Yogyakarta, Senin (6/7). Dalam aksinya mereka menuntut pencabutan RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP) di DPR RI.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) terus menuai kontroversi. Umat Islam ditekankan harus terus mengawal pembahasan RUU yang dinilai berpotensi cuma menimbulkan propaganda di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan dan Alumni UII, Dr. Rohidin mengatakan, penolakan sudah bermunculan dari perseorangan maupun organisasi. NU, Muhammadiyah, Front Pembela Islam, bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

MUI sendiri sudah mengeluarkan maklumat menolak disahkannya RUU HIP lantaran dianggap hanya akan memporak-porandakan negara. Rancangan UU ini disebut akan menghadirkan aksi tolak yang lebih besar dari Aksi 212 jika tidak dibatalkan.

Dia menilai, kritikan yang bertebaran sudah sangat beragam, mulai dari yang argumentatif sampai asal. Pasal yang di RUU HIP dirasa cukup ambigu karena Pancasila menjadi norma negara, maka setiap orang harus melewati konstitusi.

Sehingga, kata Rohidin, proses dan pelaksanaannya harus bersifat inklusif. Perspektif perseorangan atau kelompok harus mengalami substansiasi konstitusi dan UU itu milik bersama, sehingga kedudukan RUU HIP memang dipertanyakan.

"Karena ada peraturan yang sama antara TAP MPR yang berada di atasnya," kata Rohidin dalam webinar yang digelar Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama (DPPAI) UII, Senin (6/7) lalu.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr. Abdul Mu'ti menuturkan, pembentukan RUU HIP bermasalah karena menurunkan posisi Pancasila. Maka itu, tidak heran jika menimbulkan kontroversi dan penolakan keras dari beragam kalangan masyarakat.

Jika RUU HIP disahkan, Pancasila yang jadi sistem hukum tertinggi Indonesia memiliki kedudukan sama dengan UU lain. Terlebih, tidak adanya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 menjadi permasalahan yang serius dalam pembentukan RUU HIP.

Mu'ti menegaskan, Muhammadiyah terus mengkaji dan menginventarisasi berbagai problematika yang ada dalam RUU HIP dengan menyiapkan Tim Jihad Konstritusi. Ia menekankan, Pemerintah dan DPR sebaiknya menghentikan pembahasan RUU HIP.

Dalam pembentukan UU seharusnya memakai asas keterbukaan libatkan masyarakat dan disampaikan ke publik untuk mendapat tanggapan. UU disusun atas perintah di atasnya, peraturan UU lain, perintah MK dan kebutuhan hukum masyarakat.

"Persyaratan itu semua tidak ada dalam RUU HIP, maka Muhammadiyah memandang ini tidak mendesak atau bermasalah," ujar Mu'ti.

Dia melihat, Pasal VII Bab III jadi satu pemicu kontroversi karena materinya bertentangan UUD 1945. Bentuk penolakan keras masyarakat berupa anggapan RUU HIP mereduksi peran agama seperti menurunkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Argumen yang politik atau historis, seperti adanya kesengajaan dari kelompok tertentu untuk memunculkan kembali rumusan Pancasila oleh Soekarno. Kemudian, tampak ada kesengajaan seperti memberikan angin segara kepada komunisme.

"Di sini dapat pesan, ada Pancasila yang belum melekat pada tiap orang karena ada kelompok yang ingin merubahnya. Kami menegaskan, Pancasila adalah sesuai Alinea 4 Pembukaan UUD 45 yang ditetapkan pada 18 agustus 45," kata Mu'ti.

Sekretaris Jenderal PBNU, Dr. Helmy Faishal Zaini menambahkan, RUU HIP tuai pertentangan karena lahirkan perdebatan tidak produktif. Sebab, Pancasila, sumber segala sumber hukum, tidak perlu UU lain yang melegitimasi pengertiannya.

Lewat surat keterangan resmi, Pengurus Besar NU menolak RUU HIP dan mendesak DPR menghentikan legislasi rancangan undang-undang ini. Ia mengingatkan pesan KH Achmad Shiddiq kalau Pancasila dan Islam itu sejalan dan saling menunjang.

"Pancasila dan Islam itu sejalan dan saling menunjang, keduanya tidak bertentangan dan tidak perlu dipertentangkan," ujar Helmy.

Selain itu, Pendiri NU KH. Bisri Syansuri pernah mengaku sudah mengerti apa itu Pancasila. Kata Kiai Bisri, sekarang bila ada orang Indonesia, orang Islam atau orang NU yang anti Pancasila berarti dia anti padaku (Kiai Bistri).

"NU berkomitmen terhadap Pancasila, kami menegaskan Pancasila menjadi titik temu yang disepakati sebagai dasar negara dan hasil dari kesatuan proses sejak pidato Bung Karno 1 Juni 1945," kata Helmy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement