Rabu 08 Jul 2020 15:33 WIB

Ratusan Jenazah Ditemukan di Burkina Faso

Sebagian besar jenazah yang ditemukan terdapat luka tembak.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Ibu kota Burkina Faso, Ouagadougou.
Foto: Reuters/Joe Penney
Ibu kota Burkina Faso, Ouagadougou.

REPUBLIKA.CO.ID, OUAGADOUGOU -- Human Right Watch (HRW) menemukan 180 jenazah di sebuah pemakaman umum di Djibo, Burkina Faso. Dalam laporannya, HRW menyatakan, ratusan jenazah itu kemungkinan korban pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan pemerintah.

"Bukti yang ada menunjukkan bahwa pasukan pemerintah terlibat dalam eksekusi di luar hukum," ujar pernyataan HRW.

HRW meminta pemerintah untuk bertanggung jawab atas penemuan ratusan jenazah tersebut. Sementara, pemerintah Burkina Faso akan menyelidiki klaim dari HRW itu.

Menteri Pertahanan, Moumina Cheriff Sy mengatakan, pembunuhan itu bisa saja dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata yang menggunakan seragam militer dan peralatan logistik curian. "Sulit bagi penduduk untuk membedakan antara kelompok teroris bersenjata dan pasukan pertahanan dan keamanan," kata Moumina.

Burkina Faso telah memerangi kelompok-kelompok militan yang berhubungan dengan Alqaidah dan ISIS pada 2017. Ratusan warga sipil telah tewas dan hampir satu juta orang terlantar akibat konflik, yang juga mempengaruhi negara tetangga, Niger dan Mali.

Laporan HRW mengatakan, pembunuhan di Djibo kemungkinan terjadi antara November 2019 dan Juni 2020. Warga yang melihat jenazah itu mengatakan kepada HRW bahwa, mereka semua yang meninggal dunia berjenis kelamin laki-laki. Mayat-mayat tersebut dibiarkan tergeletak di sepanjang jalan raya utama, di bawah jembata, dan di ladang serta tanah kosong di sekitar Djibo.

"Otoritas Burkina Faso perlu segera mengungkap siapa yang mengubah Djibo menjadi ladang pembunuhan," ujar Direktur Sahel di HRE, Corrine Dufka.

Seorang pemimpin komunitas di Djibo mengatakan kepada HRW bahwa sebagian besar jenazah tersebut meninggal dunia dengan mata tertutup, tangan yang diikat, dan ditembak di bagian kepala. Bahkan, beberapa orang mengatakan mereka takut dibunuh oleh pasukan pemerintah dan kelompok teroris.

"Di malam hari, berkali-kali aku mendengar suara kendaraan lalu, bam! bam! bam!. Dan keesokan paginya kita melihat atau mendengar mayat ditemukan di tempat ini," kata seorang petani Djibo yang tidak mau disebutkan namanya.

Kekhawatiran atas meningkatnya laporan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan militer mendorong para pemimpin Uni Eropa dan Sahel untuk memberikan peringatan. Dalam pertemuan puncak keamanan pada 30 Juni, Uni Eropa dan Sahel memperingatkan bahwa pasukan militer yang ditemukan bersalah atas pelanggaran hak asasi manusia akan mendapatkan hukuman berat.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement