Selasa 07 Jul 2020 03:54 WIB

Para Penguasa Pelindung Ilmu (2-Habis)

Dalam sejarah Islam, tercatat sejumlah khalifah yang peduli terhadap ilmu pengetahuan

Rep: Yusuf Asiddiq/ Red: Muhammad Hafil
Para Penguasa Pelindung Ilmu (2-Habis). Foto: Hidangan kue manis dalam peradaban Islam
Foto: google.com
Para Penguasa Pelindung Ilmu (2-Habis). Foto: Hidangan kue manis dalam peradaban Islam

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Khalifah al-Ma’mun merupakan penguasa dari Dinasti Abbasiyah. Ia memerintah selama 20 tahun dari 813 hingga 833 Masehi. Di antara para khalifah, sejarah mencatat bahwa putra Harun al-Rasyid ini sebagai sosok yang berjasa besar mengangkat derajat umat Islam dalam pencapaian bidang sains dan teknologi.

Periode pemerintahannya layak disebut zaman keemasaan peradaban intelektual umat Muslim. Al-Ma’mun dikenal piawai menjalankan administrasi pemerintahan. Di samping itu, menurut penjelasan Ehsan Masood pada buku Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, dia juga sangat mendukung kemajuan ilmu pengetahuan.

Baca Juga

Ketertarikan al-Ma’mun terhadap ilmu berawal ketika sang khalifah bertemu filsuf ternama dari Yunani, Aristoteles, dalam mimpinya. Sejak itu, ia sangat berminat besar dalam pengembangan sains dan teknologi. Catatan lain mengungkapkan, setelah menaklukkan Bizantium, ia tak meminta rampasan perang berupa emas dan perhiasan.

Sebaliknya, al-Ma’mun meminta salinan buku berharga bidang astronomi karya Ptolomeus berjudul Almagest. Ia meminta karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selanjutnya, ia mengembangkan tradisi penerjemahan literatur ilmiah dari peradaban-peradaban lain dengan bantuan para penerjemah terbaik.

Sumbangsihnya berlanjut dengan keberadaan pusat pendidikan dan penggalian ilmu pengetahuan di istana Baghdad, namanya Baitul Hikmah. Lembaga ini mengingatkan pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid. Saat al-Ma’mun naik takhta, ia mengembangkannya hingga lembaga ini sangat dikenal.

Para sejarawan mencatat, Baitul Hikmah sebagai lembaga untuk mengkaji sains dan filsafat. Khalifah mengundang cendekiawan dan ilmuwan terhebat untuk berkarya di sana. Mereka tidak pernah berhenti bekerja mengabdikan ilmunya untuk kemajuan peradaban Islam.

Tradisi intelektual terbangun serta membudaya. Gerakan penerjemahan semakin bergairah, begitu pula perdebatan ilmiah, yang mencakup multidisiplin ilmu. Baitul Hikmah juga merupakan perpustakaan besar dan menjadi tempat penelitian astronomi, terutama pada tahun-tahun akhir pemerintahan al-Ma’mun.

Dari lembaga inilah, lahir karya-karya fenomenal dari para sarjana Muslim terkemuka. Ilmuwan besar al-Khawarizmi diperkirakan pernah berkiprah di Baitul Hikmah. Tokoh berpengaruh lainnya adalah Hunayn ibnu Ishaq yang menerjemahkan Stoikha, buah pemikiran Euclid.

Semua itu berkat dedikasi dan dukungan luar biasa dari al-Ma’mun. Dia merupakan kekuatan pendorong di belakang modernisasi Islam serta penguasaan sains dan teknologi, tegas Ehsan Masood.

Masih banyak bukti  ketertarikan al-Ma’mun pada ilmu pengetahuan. Observatorium pertama di dunia Islam yang berdiri tahun 829 di Shamsiya dibangun atas instruksi khalifah ini. Dia juga memerintahkan para ahli geografi membuat peta dunia yang akurat  dan pengukuran lingkar bumi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement