Selasa 07 Jul 2020 02:53 WIB

Para Penguasa Pelindung Ilmu (1)

Dalam sejarah Islam, tercatat sejumlah khalifah yang peduli terhadap ilmu pengetahuan

Rep: Yusuf Asiddiq/ Red: Muhammad Hafil
Para Penguasa Pelindung Ilmu. Foto: Khalifah Harun Ar-Rasyid (ilustrasi).
Foto: encyclopedia.com
Para Penguasa Pelindung Ilmu. Foto: Khalifah Harun Ar-Rasyid (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Kaum cendekia memiliki peran besar dalam bangunan peradaban Islam. Kepedulian para penguasa terhadap kemajuan ilmu pengetahuan ikut berperan dalam membangun peradaban yang gemilang. Sikap mereka membuat geliat tradisi intelektual terus mengalami perkembangan hingga mencapai puncaknya.

Para penguasa Islam tak sebatas memberikan dukungan moral. Mereka bahkan tak segan memanfaatkan pengaruhnya, baik secara politis maupun finansial. Dukungan ini menggerakkan proyek-proyek sains dan kajian humaniora yang besar pengaruhnya pada kehidupan masyarakat.

Baca Juga

Menurut George A Makdisi dalam bukunya Cita Humanisme Islam, para peminat kajian ilmu biasanya sekaligus menjadi pelindung perkembangan ilmu. Mereka adalah para tokoh istana. Ibrahim ibnu Muhammad al-Syaybani, sastrawan dari Baghdad, Irak, yang meninggal pada 911 Masehi, menyebut urutan pejabat yang menjadi pelindung.

Ibrahim mengatakan, urutan tersebut dimulai dari khalifah sebagai pemilik otoritas yang sah, lalu perdana menteri, panglima, dan qadhi atau hakim. Mereka inilah jajaran pejabat tingkat tinggi, sedangkan pada tingkat berikutnya terdapat raja-raja atau sultan, sekretaris atau kepala kantor, ulama, tokoh agama, serta sastrawan istana.

Selain merupakan pelindung dan penyokong utama kegiatan pengkajian ilmu, para pejabat itu juga kerap menjadi mitra sejajar dalam interaksi keilmuan. Fenomena tersebut sudah muncul sejak masa pemerintahan Dinasti Umayyah (661-750 M). Mereka memberi perhatian besar pada perkembangan ilmu pengetahuan yang mulai tumbuh.

Mereka sangat mendorong kinerja para ilmuwan di bidang astronomi, kedokteran, geografi, hingga sastra, untuk menghasilkan karya-karya berkualitas. Pada 683 Masehi, yang merupakan masa awal pemerintahannya, Khalifah Marwan ibnu al-Hakam mengawasi penerjemahan sebuah naskah pengobatan dari Suriah ke dalam bahasa Arab.

Pengalihbahasaan itu dilakukan oleh Masarjawayh, seorang dokter Yahudi yang berasal  dari Persia. Ini menjadi buku ilmiah pertama dalam bahasa Arab. Khalifah juga menaruh minat pada ilmu kimia sebagai disiplin ilmu yang dianggap paling awal dikembangkan umat Islam.

Khalid ibnu Yazid, seorang filsuf ternama dan putra khalifah, tercatat sebagai orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku kimia, kedokteran, dan astrologi berbahasa Yunani. Hal serupa diwujudkan di Andalusia. Khalifah Abdul Malik berhasil membuat Kordoba sebagai pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pendidikan.

Salah satu prestasinya yang luar biasa adalah berdirinya gedung perpustakaan dengan koleksi tak kurang dari 40 ribu buku. Para pemimpin Bani Umayyah di Andalusia memastikan pula kesejahteraan dan gaji tinggi bagi orang-orang pintar. Kondisi ini mendorong para ilmuwan dalam melahirkan banyak karya dan pemikiran baru.

Pemerintahan pada masa Abbasiyah menempuh kebijakan yang sama. Puncak kejayaan politik dan intelektual sangat ditentukan oleh peran para khalifah yang berkuasa. Philip K Hitti dalam History of the Arabs, membuat daftar para khalifah yang menjadi pelindung para ilmuwan dan pendorong kemajuan ilmu pengetahuan.

Mereka itu antara lain Al-Mahdi, Al-Mansyur, Al-Watsiq, Harun Ar-Rasyid, dan putranya, Al Ma'mun. Masa ini dikenal dengan periode kebangkitan gerakan intelektual. Hal itu ditandai dengan proyek penerjemahan karya-karya ilmiah berbahasa Yunani, Persia, Sansakerta, dan Suriah, ke dalam bahasa Arab.

Khalifah mendorong para cendekiawan agar berlomba menerjemahkan dan menghasilkan karya terbaik di berbagai bidang ilmu. Khalifah tak segan memberikan penghargaan dan imbalan yang besar. Di sisi lain, George Makdisi mengungkapkan, para penguasa sangat menyadari pentingnya para cendekiawan dalam kelangsungan kekuasaan.

Mereka pun berusaha menarik sebanyak mungkin ilmuwan ke dalam lingkungan istana. Para cendekiawan dianggap mempunyai peran penting sebagai mediator antara penguasa dan rakyat. Keberadaan mereka di sekitar kekuasaan bisa mengangkat prestise penguasa di mata rakyatnya.

Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa kredibilitas penguasa yang tidak memperhatikan kajian ilmu dan humaniora atau tidak mengangkat para cendekiawan ke istana akan jatuh dan menjadi bahan cemoohan, urai Makdisi. Karena itu, istana menjadi tempat berkumpulnya kaum cendekia dari berbagai disiplin ilmu.

Ibnu al-Abdad menggambarkan suasana itu dalam ungkapannya, nahnu ni al nahari sulthanun wa bi al layli ikhwanun  (di siang hari, kami adalah penguasa dan di malam hari, kami adalah saudara). Pada kenyataannya, tradisi itu bukan hanya milik khalifah, melainkan diikuti juga oleh para gubernur, sekretaris negara, dan kepala kantor administrasi.

Gubernur Abdullah ibnu Thahir dari Dinasti Tahiriyah, misalnya, merupakan pelindung setia para aktivis humaniora, sedangkan dari kalangan sekretaris negara terdapat nama Abd al-Hamid ibnu Yahya yang berkomitmen kuat dalam melindungi para sastrawan pada masa itu.

Kebanyakan penguasa dan pejabat turut menikmati nuansa intelektual. Ini karena sejak muda, mereka telah dibina dan mereka juga mendapat pendidikan langsung dari para cendekiawan kondang tadi. Tak heran, sebagian penguasa dan pejabat memiliki pendidikan tinggi dan tampil sebagai pakar.

Dalam kelompok ini, terdapat Harun Ar-Rasyid yang  menjadi penyair ulung atau Khalid ibnu Yazid yang seorang ahli kimia. Karena itu, para penguasa merasa tergerak untuk mengembangkan bidang keilmuan. Seiring bergantinya waktu, relasi penguasa dengan kaum cendekia dan ilmuwan bertambah erat. Tumbuh rasa persahabatan dan persaudaraan di antara mereka.

Tak hanya itu, para amir dan pejabat  tinggi juga mengangkat kaum cendekia itu untuk membimbing putra-putranya. Ada pula yang mendapat kepercayaan menggenggam jabatan di pemerintahan sebagai perdana menteri, kepala kantor, kepala rumah sakit, sekretaris, hingga orang kepercayaan mereka. ed: ferry kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement