Senin 06 Jul 2020 05:19 WIB

Politik tak Kunjung Padam, Layar Unas Terkembang (Bagian 1)

Belajarlah ilmu siasat, ilmu politik sampai ke Negeri (Kampus) Unas, mengapa?

Kampus Universitas Nasional (Unas) Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Foto: Dok Unas
Kampus Universitas Nasional (Unas) Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Jakarta membara. Sinar matahari membakar Ibu Kota. Begitu pula yang terjadi di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Panasnya membakar sejumlah mahasiswa berjaket almamater warna hijau. Hijau adalah lambang kesuburan. Dalam dunia pendidikan artinya lambang perkembangan ilmu sepanjang zaman.

Di dada kiri jaket almater para mahasiswa itu, terlihat lambang Tugu Proklamasi. Bintang segi lima emas di atas tugu. Tugu dan bintang berada di tengah perisai merah putih. Tugu merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia. Bintang melambangkan asas Pancasila dan UUD 1945. Perisai merah putih melambangkan bendera nasional.

Kemudian mereka menyerbu dua sekolah China di kawasan Senen. Menduduki dua gedung sekolah di Jalan Kalileo dan Senen Raya. Berhari-hari sekolah itu diduduki para aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) dari Universitas Nasional (Unas). Pada masa itu para mahasiswa Unas berteriak, “Kami dari Unas kampus perjuangan berideologi Pancasila. Menolak ideologi komunis di Indonesia. Bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan anasir-anasirnya.”

Rektor Unas Dr El Amry Bermawi Putera, mengungkapkan, dalam perjalanan sejarah perjuangan dan semangat antikomunis di kalangan mahasiswa Unas sejak 1964. Terutama saat pendiri Unas Prof Dr Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berseteru pendapat dengan Presiden Sukarno. Terutama soal pandangan politik, termasuk soal komunisme.

Dia juga mengakui aktivis mahasiswa Unas mengambil alih sekolah China di Senen. “Ya betul. Gedung Unas di Jalan Kalileo awalnya milik sekolah China yang diduduki aktivis mahasiswa KAMI dari Unas. Saat itu Unas belum punya gedung tetap. Unas menyewa tempat di sekitar Jalan Proklamasi,” kata, Amry kepada penulis yang juga alumni Unas di Menara Unas, Ragunan, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Pada 1965-1966 itu, Indonesia seperti negeri tak putus dirundung malang. Bagai perempuan di persimpangan zaman. Harus memilih antara: kalah dan menang. Terutama setelah peristiwa yang disebut Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). 

Peristiwa pembunuhan terhadap Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani dan sejumlah petinggi Angkatan Darat (AD) lainnya. Termasuk seorang perwira muda. Mereka seperti perawan di sarang penyamun. Dibantai di kawasan Lubang Buaya, perbatasan kawasan Halim Perdanakusuma dengan Pondok Gede, Kota Bekasi.

Peristiwa itu memunculkan aksi demonstrasi pemuda, mahasiswa, dan pelajar menuntut pembubaran partai komunis. Aksi nan tak kunjung padam. Kawasan Senen menjadi salah satu titik didih. Di situlah markas partai berlambang palu dan arit itu berada. Tepatnya di Jalan Kramat Raya.

Unjuk rasa juga merembet ke kawasan Senen. Kawasan pecinan. Umumnya berciri rumah-rumah dengan atap gentengnya yang runcing. Menjulang ke atas dengan dominasi warna merah. Meniru arsitek di negeri leluhurnya. Warga Tionghoa banyak yang bermukim dan memiliki usaha di Pasar Senen.

Partai Komunis China (PKC) dituding terlibat dalam aksi G30S/PKI tersebut. Alasannya, antara lain partai merah Indonesia sangat akrab dan berkiblat ke partai merah China. Akibatnya, segala yang berbau Tionghoa atau China menjadi sasaran amuk massa. Termasuk gedung-gedung milik warga keturunan China. Tak terkecuali gedung sekolah perkumpulan China menjadi sasaran.

Sejumlah aksi pemuda, mahasiswa, dan pelajar pada 1965 hingga 1967 terus dilakukan di Jakarta dan kota besar lainnya. Termasuk KAMI dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) dari Unas bergabung dengan elemen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Jakarta Raya. Begitu pula pelajar SMA YMIK (Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan), bergabung dalam Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Termasuk KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar), dan kesatuan aksi lainnya yang tergabung dalam Front Pancasila.

Awalnya kesatuan-kesatuan aksi itu mengajukan Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat, yakni menuntut pembubaran PKI, pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S/PKI, serta penurunan harga barang-barang. Belakangan aksi yang didukung AD itu juga menuntut Presiden Sukarno mundur dari jabatannya.

“Indonesia memang negara Non-Blok. Namun secara politik saat itu, Bung Karno lebih condong dekat dengan Blok Timur atau negara-negara komunis. Sehingga Bung Karno juga menerima dampak yang sangat kuat dari sikap politiknya. Ia juga diminta turut bertanggung jawab atas peristiwa Oktober 1965 dan morat maritnya kondisi ekonomi bangsa,” kata Direktur Sekolah Pascasarjana Unas, Prof Dr Maswadi Rauf. Ia didampingi Ketua Program Doktoral Ilmu Politik Unas, Dr TB Massa Djafar.

 

Mahasiswa Unas yang menduduki gedung di Senen, meminta perlindungan ke Markas Besar Angkatan Laut (Mabesal). Menteri/Panglima Angkatan Laut saat itu Laksamana Madya RE Martadinata mendukung AD untuk mengganyang PKI. Pihak Unas kemudian melaporkan kepada Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad) soal pendudukan dua sekolah China di Senen.

Baik Kopkamtib dan Mabesad dipimpin Letnan Jenderal TNI Soeharto. Ia menggantikan Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani yang gugur dalam peristiwa G30S tersebut.  Akhirnya gedung di Jalan Kalilio, Senen diserahkan pemerintahan baru Jenderal Soeharto kepada Unas. Sedangkan gedung satunya lagi diberikan kepada Universitas Ibnu Chaldun. Kedua gedung itu diperuntukan bagi kepentingan pendidikan.

STA dan Bung Karno

Satu tahun sebelum peristiwa itu, pada 1964, pendiri Unas, sang pujangga baru, STA terusir dari negerinya. Perbedaan sikap politik dengan Presiden Sukarno, membuat STA harus mengungsi ke Malaysia dan terus berkarya. Ia dikenal dengan karya-karyanya yang fenomenal melalui tulisan-tulisan yang membakar jagat sastra Indonesia.

Karya-karyanya, antara lain Tak Putus Dirundung Malang (novel tahun 1929), Dian tak Kunjung Padam (novel 1932), Layar Terkembang (novel 1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel 1940), Kalah dan Menang (novel,1978), Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak 1985), serta Grotta Azzura (novel tiga jilid 1970 dan 1971), dan lain-lain.

Setelah Presiden Sukarno tumbang, barulah STA kembali ke Indonesia pada 1968 dan mengurus kampus Unas di Jalan Kalileo Nomor 17-19, Senen. Ia bertekad menjadikan Unas sebagai pusat ilmu dan budaya. Ia menjadi rektor Unas menggantikan Dr M Sukmadi.

Beberapa bulan sebelumnya, pada Oktober 1967, secara mengejutkan pejabat Presiden Jenderal TNI Soeharto membuat keputusan memutuskan hubungan diplomatik dengan Tiongkok pada Oktober 1967. Segala yang berbau China pun menjadi sasaran amuk massa, termasuk Kedutaan Besar Republik Rakyat China (RRC) di Jakarta dan Kampus Res Publika diduduki tentara. Kini menjadi Universitas Trisakti.

Universitas perjuangan

Relasi komunikasi STA dengan Presiden Sukarno awalnya cukup dekat. Sama-sama saling mengagumi karya masing-masing. “Pada lustrum kedua Unas tahun 1959, Presiden Sukarno memberikan julukan kepada Unas sebagai universitas perjuangan,” ujar Amry yang pernah menjadi sekretaris pribadi STA selama sekitar 10 tahun, sejak 1977.

Amry awalnya sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Politik (FIP) Unas, tahun masuk 1974. Ia merupakan mahasiswa berprestasi dan penerima beasiswa Supersemar (surat perintah sebelas Maret 1966) dari Presiden Soeharto. Jelang sarjana muda, ia diminta STA untuk menjadi sekretaris pribadinya. Sekaligus  melanjutkan kuliah hingga menamatkan sarjana ilmu politik di FIP Unas.

FIP dan Fakultas Ekonomi (FE) Unas merupakan pecahan dari Fakultas Sosial Ekonomi Politik (FSEP) Unas. FSEP Unas berdiri sejak 1949. Unas kental dengan tradisi ilmu politik. Bahkan lebih kental daripada Universitas Indonesia (UI). Jika Unas menggunakan istilah FIP, sedangkan UI dan perguruan tinggi negeri (PTN) lainnya menggunakan istilah FIS (Fakultas Ilmu-ilmu Sosial).

Belakangan pada 1982, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatukan pola Unas dan PTN menjadi FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Tradisi mahasiswa ilmu politik Unas, antara lain 'praktik lapangannya'. Sama seperti para mahasiswa Unas yang merebut sekolah China di Senen era setelah peristiwa G30S tahun 1965.

Mereka sesungguhnya mengikuti para pendahulunya. Seperti dilakukan mahasiswanya sejak tahun 1950-an. Antara Deliar Noer yang kritis kepada pemerintah. “Aku masuk di Akademi Nasional (Unas) jurusan Sosial Ekonomi Politik tahun 1950,” sebut Deliar dalam autobiografinya (1996: 301).

Di awal 1950-an, Deliar Noer adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Jakarta. Pernah jadi ketua cabang (1951-1953) dan ketua Pengurus Besar HMI (1953-1955). Begitu sibuk dengan aktivitasnya, ia baru menyelesaikan kuliahnya pada 1958.

Lulus dari Unas, ia melanjutkan kuliah pendidikan ilmu politik ke Amerika Serikat (AS). Meraih gelar doktor ilmu politik dari Universitas Cornell, Itacha, AS pada 1963. Sekaligus menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar akademik doktor ilmu politik. Disertasinya: The Rise and Development of the Modernist Movement in Indonesia. Membahas bagaimana tokoh dan kelompok-kelompok Islam bergerak di era kolonial. Deliar Noer pun menjadi guru besar sejarah dan ilmu politik.

Ada pula Mochtar Kusumaatmaja. Usai menamatkan sarjana muda ilmu politik di Unas, ia melanjutkan kuliah hukum di Universitas Indonesia. Prof Mochtar Kusumaatmaja pernah menjadi menteri kehakiman dan luar negeri era Presiden Soeharto pada 1974-1988.

Kemudian mahasiswa FSEP Unas lainnya adalah Alfian. Ia mengikuti jejak Deliar Noer. Usai menamatkan kuliah di Unas, Alfian melanjutkan kuliah di University of Wisconsin, AS.

Menjadi doktor ilmu politik kedua di Indonesia, dalam usia relatif muda 28 tahun. Alfian juga pendiri Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Deliar dan Alfian menjadi pioner perkembangan ilmu politik di Indonesia.

Mahasiswa ilmu politik Unas memang dikenal 'militan' sejak berdirinya Unas pada 15 Oktober 1949. Unas menjadi perguruan tingggi swasta tertua di Jakarta. Awalnya bernama Akademi Nasional. Juga perguruan tinggi swasta kedua tertua di Indonesia setelah Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Tujuan pendirian Unas untuk menampung lulusan SLTA di Jakarta yang tidak mau memasuki Universiteit van Indonesie (UVI) yang didirikan Pemerintah Kolonial Belanda. Sebelumnya bernama Nood Universiteit yang didirikan pada Maret 1947. Beberapa warga Belanda dan Eropa masih berkuliah di UVI.

Di tengah revolusi fisik perjuangan kemerdekaan, mahasiswa Unas menjadi salah satu garda depan menentang keberadaan agresi militer kedua Belanda di Indonesia. Unas didirikan tokoh-tokoh terkemuka yang berhimpun dalam Perkumpulan Memajukan Ilmu dan Kebidayaan (PMIK).

Kemudian berubah menjadi Yayasan Memaukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK). Mereka antara lain Prof Sutan Takdir Alisjahbana, Prof Sarwono Prawirohardjo, Dr. Johanes Leimena, Soejatmiko, HB Jassin. Termasuk ayah dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yakni Dr Soemitro Djojohadikusumo.

Pada awal dirintisnya Unas pada 1946 dilakukan penyeleggaraan kursus. Meliputi bidang: ekonomi, sosiologi, politik dan filsafat dipimpin Drs Adam Bachtiar. Bertujuan memberi dasar pemahaman ilmu pengetahuan bagi setiap warga negara dalam tanggung jawabnya mengisi kemerdekaan.

Pada tahun itu juga didirikan SMA Republik Indonesia, kelas sore. Memberi kesempatan bagi mereka yang bekerja pagi. Dalam perkembangannya, kursus-kursus tersebut bertambah banyak pesertanya. Pada Oktober 1949, atas desakan 400 lulusan SMA Republik Indonesia, PMIK kemudian mengumumkan dibukanya Akademi Nasional.

Awalnya membawahi lima fakultas, yakni Fakultas Sosial, Ekonomi dan Politik (FSEP); Fakultas Biologi; Fakultas Matematika dan Fisika; Fakultas Sastra Indonesia; dan Fakultas Sastra Inggris. Sengaja menggunakan istilah akademi, bukan universitas. Hal ini untuk menghindari peraturan kolonial yang masih berlaku di  Jakarta. Kuliah perdana pada 15 Oktober 1949. Itulah momentum historis yang mengawali perjuangan dan perjalanan Unas. Tanggal tersebut dijadikan sebagai hari lahir Unas.

Pada 22 Desember 1949, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan di Yogyakarta memberikan pengakuan dan persamaan penuh kepada Akademi Nasional dengan surat No. 548/S. Unas pun menjadi perguruan tinggi swasta pertama di Jakarta.  Kemudian pada 1 September 1954, melalui Notaris Mr R Soewandi, Perkumpulan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan berubah menjadi Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK).

Sebagai rektor pertama Unas, Prof Soedjadi Setjonegoro (1949-1950). Kemudian Prof Dr Soekirno (1951-1965), Dr Muh Sukmadi (1965-1968), Prof Dr Mr Sutan Takdir Alisjahbana (1968-1992), Prof Achmad Baiquni, MSc, PhD (1993-1997), Prof Dr Drs Umar Basalim, DES (1997-2009), dan Dr Drs El Amry Bermawy Putera (2009 sampai sekarang).

Bersambung…

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement