Senin 06 Jul 2020 01:16 WIB

Relawan PMI Dikerahkan Bantu Pengungsi Rohingya

Penampungan ini lebih dari 33 anak imigran yang tinggal bersama orang tuanya.

Warga melakukan evakuasi paksa pengungsi etnis Rohingya dari kapal di pesisir pantai Lancok, Kecamatan Syantalira Bayu, Aceh Utara, Aceh, Kamis (25/6/2020). Warga terpaksa melakukan evakuasi paksa 94 orang pengungsi etnis Rohingya ke darat yang terdiri dari 15 orang laki-laki, 49 orang perempuan dan 30 orang anak-anak tanpa seizin pihak terkait, karena warga menyatakan tidak tahan melihat kondisi pengungsi Rohingya yang memprihatikan di dalam kapal sekitar 1 mil dari bibir pantai dalam kondisi. terutama anak-anak dan wanita dalam kondisi lemas akibat dehidrasi dan kelaparan.
Foto: ANTARA/RAHMAD
Warga melakukan evakuasi paksa pengungsi etnis Rohingya dari kapal di pesisir pantai Lancok, Kecamatan Syantalira Bayu, Aceh Utara, Aceh, Kamis (25/6/2020). Warga terpaksa melakukan evakuasi paksa 94 orang pengungsi etnis Rohingya ke darat yang terdiri dari 15 orang laki-laki, 49 orang perempuan dan 30 orang anak-anak tanpa seizin pihak terkait, karena warga menyatakan tidak tahan melihat kondisi pengungsi Rohingya yang memprihatikan di dalam kapal sekitar 1 mil dari bibir pantai dalam kondisi. terutama anak-anak dan wanita dalam kondisi lemas akibat dehidrasi dan kelaparan.

REPUBLIKA.CO.ID,LHOKSEUMAWE -- Demi kemanusiaan, relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Lhokseumawe, Aceh, dikerahkan untuk membantu puluhan imigran Rohingya, Myanmar, yang terdampar di perairan laut Aceh Utara dan saat ini ditampung di tempat pengungsian sementara gedung bekas Kantor Imigrasi Lhokseumawe.

"Sudah sembilan hari bahkan lebih saya diberikan tugas untuk memberikan berbagai macam bantuan untuk para imigran tersebut di tempat penampungan sementara. Selama menjalani aksi kemanusiaan ini, saya ikhlas merelakan waktu, tenaga dan pikiran agar penderitaan mereka berkurang," kata salah seorang relawan PMI Qhalid melalui sambungan telepon, Ahad (5/7).

Ia pun menceritakan selama operasi kemanusiaan ini, ia membantu memenuhi kebutuhan 99 imigran asal Myanmar tersebut bahkan beraktivitas bersama dengan para pengungsi mulai dari mengolah pangan di dapur hingga bermain sepak bola.

Saat dihubungi melalui telepon, terdengar suara rengekan salah satu anak dari pengungsi dan sempat menghentikan sesi wawancara melalui telepon dengan Qhalid, tidak lama suara rengekan itu pun hilang ia kembali melanjutkan ceritanya selama berada di penampungan.

Menurutnya, lelah sudah pasti, tetapi terobati dengan senyuman dan canda tawa anak-anak imigran yang mulai melupakan rasa traumanya akibat terombang ambing di tengah laut karena kapal motor yang ditumpangi mereka rusak, beruntung nelayan setempat berhasil mengevakuasi dan menyelamatkannya.

Menurut dia, di penampungan ini lebih dari 33 anak imigran yang tinggal bersama orang tuanya. Hak bermain dan belajar anak-anak tersebut dipenuhi oleh sejumlah relawan organisasi kemanusiaan lainnya.

Selain itu, meskipun berbeda bahasa dan budaya, interaksi saat belajar dan bermain antara relawan dan imigran tidak menjadi hambatan, karena ada empat orang yang bisa berbahasa Melayu yang dimanfaatkan sebagai perantara.

Melalui bermain, bisa menjadi penyembuhan mental (mental healing) untuk anak-anak yang menjadi pengungsi. Beragam permainan ketangkasan diperagakan dan dimainkan relawan bersama mereka. Meski banyak pemerhati anak dari berbagai organisasi kemanusiaan, jadwal belajar dan bermain ini diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu waktu istirahat anak.

Selain bercengkrama dengan anak imigran, relawan juga meminta imigran dewasa berbaur dalam berbagai aktivitas. Seperti pada subuh melakukan Solat secara berjamkaah dan tetap menerapkan protokol kesehatan, karena saat ini masih dalam masa pandemi Covid-19.

"Tak jarang dari mereka menyempatkan mengaji sebelum memulai berbenah lingkungan seperti gotong-royong bersama petugas dan bersih-bersih pengungsian," tambahnya.

Qhalid mengatakan usai membabat rumput dan ilalang, giliran urusan dapur mereka kerjakan. Sejumlah imigran membantu relawan memasak di dapur sambil menunggu giliran, namun imigran wanita, melainkan laki-laki yang membaur di dapur bersama petugas dapur umum.

Berdasarkan penuturan dari salah seorang imigran, lelaki di daerah asalnya memang terbiasa memasak, karena perempuan tidak lebih cepat memasaknya. Selain itu, relawan PMI bersama aparat keamanan juga bersiaga 24 jam di posko penampungan tersebut.

Ia mengaku hanya pulang untuk mandi dan berganti pakaian, selebihnya ia bergantian bersama relawan lainnya memantau dan menyalurkan bantuan untuk para pencarian suaka tersebut. "Karena mereka diisiloasi, jadi kami coba berkegiatan besama agar mereka juga tidak bosan," katanya.

Mulanya terdapat kesenggangan antara relawan dengan para pengungsi Rohingya tersebut, namun hanya berlangsung dua hari ternyata mereka bisa membaur dan menyesuaikan diri dengan berbagai perbedaan yang ada.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement