Ahad 05 Jul 2020 14:53 WIB

Mendaras Surat-Surat tentang Islam Sukarno dari Ende

Di Ende, selain menulis surat Sukarno juga berdiskusi dengan ulama Persis, Hassan

Sejumlah wisatawan mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende, NTT, Jumat (20/5). (/Wahyu Putro A)
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Sejumlah wisatawan mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende, NTT, Jumat (20/5). (/Wahyu Putro A)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Fuad Nasar

Ende, sebuah Kabupaten di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan salah satu tonggak dalam perjalanan hidup dan sejarah Sukarno sebagai pejuang, proklamator kemerdekaan, sekaligus pemimpin bangsa. Sebagai kawasan sejarah, di Ende terdapat monumen patung Sukarno duduk menghadap laut di bawah pohon sukun.

Rumah pengasingan yang pernah ditempati Sukarno bersama istrinya Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami dan ibu Amsi (mertua Sukarno) dilestarikan menjadi situs sejarah. Adapun pohon sukun yang ada saat ini ditanam tahun 1981 setelah pohon sukun yang menjadi kenangan sejarah Bung Karno di Ende tumbang tahun 1960. Bung Karno menjalani hukuman pengasingan sebagai tahanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda di Ende mulai 1934 sampai 1938.

Dalam buku Bung Karno dan Kehidupan Berpikir Dalam Islam (Solichin Salam: 1964) diceritakan, dengan dibuangnya Bung Karno oleh pemerintah kolonial Belanda ke Endeh merupakan permulaan zaman baru dalam sejarah hidupnya. Sejak berada dalam pembuangan inilah, semakin kuat hasrat dan keinginan Bung Karno untuk mempelajari agama Islam dengan jalan membaca buku-buku tentang Islam baik yang ditulis oleh orientalisten Barat maupun sarjana-sarjana Islam sendiri dalam berbagai bahasa.

 

Selama di Endeh, selain rajin membaca dan mempelajari buku-buku Islam, Bung Karno melakukan korespondensi dengan A. Hassan, seorang ulama modernis Islam terkenal dan tokoh organisasi Persatuan Islam (Persis). Surat menyurat antara keduanya berlangsung sejak 1 Desember 1934 hingga 17 Oktober 1936.

Menurut catatan Solichin Salam, di dalam surat-surat Sukarno tertuang isi hati dan jiwanya tentang agama Islam dan umat Islam di Indonesia yang pada waktu itu diliputi kebekuan dan kekolotan. Surat-surat tersebut; pertama tertanggal 1 Desember 1934, kedua 25 Januari 1935, ketiga 26 Maret 1935, keempat 17 Juli 1935, kelima 15 September 1935, keenam 25 Oktober 1935, ketujuh 14 Desember 1935, kedelapan 22 Pebruari 1936, kesembilan 22 April 1936, kesepuluh 12 Juni 1936, kesebelas 18 Agustus 1936, dan kedua belas tertanggal 17 Oktober 1936.

Surat-surat di atas dihimpun dan diterbitkan oleh A. Hassan dengan judul, “Surat-Surat Islam Dari Endeh” (Persatuan Islam – Bandung: 1936).

Surat Sukarno No 1 tertanggal Ende, 1 Desember 1984 kepada Ustad  A. Hassan Bandung berbunyi sebagai berikut:

Assalamu’alaikum,

Jikalau saudara-saudara memperkenankan, saya minta saudara mengasi hadiah kepada saya buku-buku yang tersebut di bawah ini:

1 Pengajaran Shalat, 1 Utusan Wahabi, 1 Al-Muchtar, 1 Debat Talqien,  1 Al-Burhan compleet, 1 Al-Jawahir.

Kemudian daripada itu,  jika saudara-saudara ada sedia, saya minta sebuah risalah yang membicarakan soal “sayid”. Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu-ribu kali lebih besar dan lebih sulit daripada soal “sayyid” itu, maka tokh menurut keyakinan saya, salah satu kecelaan Islam zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasan-alasan kaum “sayyid”, misalnya mereka punya brosur “Bukti Kebenaran”, saya sudah baca, tetapi tak bisa meyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal suatu “aristokrasi Islam”.  Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu, adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan!

Sebelum dan sesudahnya terima itu buku-buku, yang saya tunggu-tunggu benar, saya mengucapkan beribu-ribu terima kasih. Wassalam, Soekarno.

Dalam surat yang lain, Sukarno menulis:

“Di Endeh sendiri tak ada seorang pun yang bisa saya tanyai, karena semuanya memang kurang pengetahuan (seperti biasa), dan ….. kolot bin kolot. Semuanya hanya mentaqlied saja zonder tahu sendiri apa-apa yang pokok; ada satu dua yang berpengetahuan sedikit, di Endeh ada seorang sayyid yang sedikit terpelajar, tetapi tak dapat memuaskan saya, karena pengetahuannya tak keluar sedikit pun dari kitab fiqih, dependent, unfree, taqlid. Quran dan Api Islam seakan-akan mati, karena kitab fiqih itulah yang mereka jadikan pedoman hidup, bukan kalam Ilahi sendiri. Ya, kalau difikirkan dalam-dalam, maka kitab fiqih kitab fiqih itulah yang seakan-akan ikut menjadi algojo Ruh dan Semangat Islam.”

Soekarno menyoroti keadaan dunia Islam, “Bila kita melihat jalannya history Islam, maka tampaklah disitu akibatnya taqlied itu sebagai satu garis ke bawah, garis decline, sampai sekarang. Bahwa dunia Islam adalah mati geniusnya, semenjak ada anggapan, bahwa mustahil ada mujtahid yang bisa melebihi imam yang empat, en dus harus mentaqlied saja kepada tiap-tiap kiyai atau ulama dari sesuatu mazhab yang empat itu.”

Kegiatan missionaris dan dakwah Islam tak luput dari perhatian Soekarno selama di Ende. Berikut petikan penuturannya kepada A. Hassan, “Tuan tahu, bahwa pulau Flores itu ada pulau missi yang mereka sangat banggakan….Saya sendiri melihat, bagaimana mereka bekerja mati-matian buat mengembangkan mereka punya agama di Flores…… Tapi kita, kenapa kita malas, kenapa kita teledor, kenapa kita tak mau kerja, kenapa kita tak mau giat? Kenapa misalnya di Flores tiada seorangpun mubaligh Islam dari sesuatu perhimpunan Islam yang ternama (misalnya Muhammadiyah) buat mempropagandakan Islam di situ kepada orang kafir? Missi di dalam beberapa tahun sahaja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores, tapi berapa banyak orang kafir yang bisa dihela oleh Islam di Flores itu?”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement