Ahad 05 Jul 2020 14:39 WIB

Tentang Amira

Ah, mata biru Amira. Sesinis-sinisnya dia tetap saja tetap saja tampak ayu.

Tentang Amira (ilustrasi cerpen)
Foto: Rendra Purnama/ Republika
Tentang Amira (ilustrasi cerpen)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: AM Lilik Agung

Perjalanan sejauh dua ratus sepuluh kilometer yang membentang antara Amsterdam-Brussel menjadi tidak relevan lagi ketika duduk berjarak enam meter disampingku ada seorang gadis berambut pirang dengan anting biru di telinganya. Pemilik suara sopran dengan Bahasa Inggris yang terjaga diksinya, bercampur Bahasa Indonesia patah-patah, membuat diskusi siang ini menjadi penuh warna.

Dia mengapresiasi penampilan penari Eko Suprianto bersama gadis-gadis asli Halmahera yang memang tampil memukau. Selanjutnya kritikan mahahebat ditujukan kepada seniman lainnya yang membuat telinga orang-orang Indonesia menjadi merah tiada berkesudahan.

“Kalau negeri kalian tidak siap menjadi negara tamu pada ajang bergengsi Europalia*) mendingan tidak usah deh tampil di Brussel. Menampilkan seni tradisi kok tampak kuno tanpa keindahan. Apalagi seniman-seniman yang berlabel kontemporer itu. Kelihatan seperti seniman kemarin sore yang lagi belajar menciptakan karya seni. Duit rakyat yang besar untuk ajang Europalia ini kan bisa untuk membeli makanan bergizi untuk anak-anak yang kekurangan nutrisi.” Ia menutup penuturannya.

Duduk kembali di kursi dengan ekspresi dingin menatap para narasumber diskusi yang tak lain seniman hebat dan senior dari negeriku yang tampil berderet di kursi depan. Diskusi Festival Seni Budaya Europalia menjadi panas. Berlawanan dengan cuaca di luar Bozar Centre for Fine Art Brussel, tempat diskusi berlangsung yang memulai musim dingin.

“Amira...Amira....” Aku berjalan cepat mengejar dia yang keluar dari Bozar sehabis diskusi budaya kelar digelar.

Dia menghentikan langkah. Membalik tubuh, memandang sosokku. Kuulurkan tangan padanya. “Bima,” kukenalkan nama padanya, ”Aku dari Indonesia. Senang ketika kau begitu galak mengkritik seniman-seniman negeriku yang tampil di Europalia.”

“Ada kedai kopi khas Belgia di Place de Palais. Kebetulan kau orang Indonesia, kita lanjutkan diskusi di kedai kopi itu.” Amira menawarkan diri. Sebuah tawaran yang langsung aku setujui.

Duduk pada ujung meja sebelah kiri yang menjorok di jalanan, Amira memilih secangkir caramel macchiato dengan koffiekoeken, kudapan khas Belgia. Musim dingin yang mulai menusuk tulang, cocok dengan cokelat panas bercampur sedikit krim. Minuman itu yang aku pesan.

"Kok kamu tahu namaku? Langsung memanggil namaku, Amira.” Dia memulai percakapan.

“Ketika moderator diskusi bertanya namamu, kamu langsung menyebut sebuah nama.”

“Bima,” dia memandang wajahku,”Nama tokoh wayang ya?”

“Benar. Keturunan Pandawa nomer dua. Kau sendiri suka wayang?”

“Ya sekedar tahu saja. Kebetulan ketika aku kecil dulu ayah suka menceritakan padaku dongeng-dongeng dari leluhurnya. Salah satunya cerita wayang. Ayahku seperti kamu. Asli dari Indonesia. Bermigrasi ke Amsterdam dan kemudian menikahi ibuku, orang Belanda.” Amira mengiris koffiekoeken. Memasukkan perlahan ke bibirnya.

“Ada darah Indonesia dalam diriku yang menyebabkan aku datang ke Brussel menonton Europalia. Pameran tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan.”

“Ketika diskusi tadi, kamu sangat galak.” Kutatap wajah Amira.

“Tapi benar kan apa yang tadi aku kritik?” Amira meraih cangkir caramel macchiato-nya.

“Aku baru menonton “Cry Jailolo”-nya Eko Suprianto. Lalu ikut diskusi. Jadi aku belum bisa menjawab pertanyaanmu.” Gantian aku menyeruput cokelat panas.

“Tadi pagi aku sampai di Brussel. Bozar dibuka, langsung aku masuk ruang pamer. Khusus aku amati karya-karya seniman dari Indonesia. Dari yang tradisi, kontemporer, kreasi baru hingga kolaborasi. Dari pertunjukan tari, teater, musik, film hingga lukisan dan karya-karya instalasi. Beberapa memang luar biasa. Hanya sedikit saja sebenarnya yang tidak layak ditampilkan. Namun karena Indonesia ditunjuk sebagai negara tamu jadi wajib dong untuk tampil prima. Itu yang menyebabkan aku sangat keras mengkritik seniman Indonesia.”

“Maaf, kita baru saja kenal. Boleh aku tanya sesuatu?” aku alihkan pembicaraan.

“Ya, silakan.”

“Kau seniman?”

“Bukan. Aku kuliah di Vrije Universiteit Amsterdam ambil Sejarah Asia Timur. Tidak secara khusus mempelajari sejarah Indonesia. Namun karena hubungan Belanda sangat erat dengan Indonesia, ditambah ayahku asli orang Indonesia, maka aku banyak membaca referensi tentang Indonesia. Makanya aku tahu kalau negerimu sedang disibukkan masalah stunting, gizi buruk bagi anak-anak. Aneh juga. Pendapatan per kapita sudah tembus lima ribu dolar Amerika, masih ada anak yang kena stunting.”

Amira memandang tajam wajahku. Ah, mata biru Amira. Sesinis-sinisnya dia tetap saja tampak ayu.

“Kalau tidak dihisap oleh nenek moyangmu, mungkin pendapatan rakyat negeriku hari ini sudah pada angka dua puluh ribu dolar per kapita.” Sengaja kubuka diskusi yang panas.

“Aku kira kalau tidak ada bangsaku di negerimu, rakyat negerimu hari ini masih bergelimpangan dalam kemiskinan. Mana yang lebih kejam, nenek moyangku yang menjajah negerimu atau para raja dan golongan ningrat lainnya yang menjadi penguasa masa lalu di negerimu?” Amira menjawab telak pertanyaanku.

“Kita baru kenal hari ini. Alangkah bagusnya bila kita bercerita tentang kapitalisasi seni, digitalisasi bisnis, atau Coldplay yang menggelar konser di kota-kota di Eropa.” Tidak kuteruskan diskusi panas itu.

“Ya..ya...itu lebih baik. Kamu sendiri belum memperkenalkan diri padaku.”

“Empat tahun aku di Leiden. Aku kuliah di University of  Leiden ambil Ekonomi Bisnis. Ini tahun terakhir aku kuliah. Libur kuliah satu minggu, aku ke Amsterdam. Dan seperti kamu, karena Europalia tahun ini negara tamunya Indonesia, aku melanjutkan perjalanan ke Brussel untuk menontonnya.” Aku bercerita.

“Salut padamu, Bima. Kamu mahasiswa bisnis yang suka dengan kegiatan budaya.”

Lalu kami saling bercerita tentang lukisan Salvator Mundi yang berharga empat ratus juta dolar Amerika, kebijakan politik Trump yang membuat dunia kalang kabut hingga sepakbola Belanda yang mulai bangkit lagi.

“Bima, setengah jam lagi kereta menuju Amsterdam akan berangkat. Senang bertemu denganmu.” Amira melirik jam tangannya.

“Aku juga akan balik ke Amsterdam. Kita bisa berbarengan,” aku menimpali.

Berdua kami berkereta menuju Amsterdam. Amira turun di stasiun Amsterdam. Aku berganti kereta menuju Leiden, empat puluh kilometer dari Amsterdam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement