Ahad 05 Jul 2020 13:25 WIB

Media Barat: China Soal Uighur, Mengapa Negara Islam Diam?

Negara Islam dinilai mempunyai standar ganda menyikapi perlakuan China.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Negara Islam dinilai mempunyai standar ganda menyikapi perlakuan China. Kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina.
Foto: ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
Negara Islam dinilai mempunyai standar ganda menyikapi perlakuan China. Kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kolumnis Observer dan The Guardian, Nick Cohen, memberikan pandangannya tentang mengapa negara-negara Muslim tetap diam di saat China memperlakukan komunitas Uighur, yang sebagian besar Muslim, dengan kejam? 

Dia menyebut, bangsa-bangsa yang mengklaim menjadi pembela agama justru tidak menunjukkan protes atas kamp-kamp konsentrasi yang dibangun pemerintah China untuk menahan jutaan warga Uighur.    

Baca Juga

Ketika china memberlakukan sanksi perdagangan terhadap Norwegia pada 2010 karena memberikan penghargaan kepada aktivis hak asasi manusia Liu Xiaobo, para propagandis untuk sebuah rezim komunis atheis kala itu melontarkan 'itu penistaan'. 

Hubungan China dan Norwegia sempat memburuk ketika pembangkang pro-demokrasi yang dipenjara, Lio Xiaobo, dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian pada 2010. Ketua dari Komite Nobel Norwegia, Berit Reiss, kala itu memberikan dukungannya terhadap Liu Xiaobo dan menuduh rezim komunis Tiongkok atas kematiannya.  Suatu kali, penistaan kemudian merujuk pada pelecehan para penganut agama (tuhan) dan kitab-kitab suci. Kini, Nick Cohen dalam opininya yang diterbitkan di The Guardian, menyebut bahwa kritik terhadap kediktatoran terbesar di dunia telah menjadi suatu bentuk asusila (melanggar kesucian).  

Cohen mengatakan, pada 1990-an dan 2000-an, kesenjangan antara yang sakral dan duniawi tidak pernah seluas yang diyakini para sentimentalis religius dan multikulturalis liberal. Mereka sepakat dengan argumen bahwa rasisme paling buruk menyinggung para penganut agama. 

Di sini, Cohen menyinggung soal penekanan terhadap komunitas yang sebagian besar miskin dan sebagian besar Muslim. Cohen bahkan menyebut, bahwa orang-orang dengan kekuatan nyata dan kedengkian memanipulasi kemarahan agama untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka atas populasi mereka yang buruk.  

photo
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, China. (Antara/M Irfan Ilmie)

Dia  memberikan contoh pada kasus Iran yang mengeluarkan hukuman mati pada Salman Rushdie pada 1989 karena menyindir mitos dasar Islam dalam The Satanic Verses. Ayatollah Khomeini saat itu menambah kekuatannya dengan mengaku berbicara untuk dunia Muslim. 

Ketika surat kabar Denmark Jyllands-Posten menerbitkan kartun Nabi Muhammad SAW pada 2005, untuk menegaskan hak untuk mengejek agama yang tidak dilarang dalam konstitusi Denmark, penguasa Mesir dan Suriah kala itu, Hosni Mubarak dan Bashar al-Assad, mengubah argumen lokal menjadi kampanye global melawan Denmark. 

Cohen menilai, tangisan kemarahan berguna untuk mengalihkan perhatian dari korupsi dan kesalahan aturan mereka.  "Politik otoriter dan agama otoriter hanyalah dua sisi mata uang yang sama. Di banyak negara, mengkritik China adalah penistaan baru. Di mana pun Anda tidak dapat melihat kekuatan yang ditampilkan lebih telanjang daripada di rezim mayoritas Muslim. Suatu kali, mereka mencoba membunuh novelis yang menghujat dan berteriak tentang keinginan mereka untuk membela nabi dari penghinaan terkecil. Hari ini, mereka menekuk lutut dan menggigit lidah saat China melakukan kekejaman yang amat buruk terhadap penduduk Uighur yang sebagian besar Muslim di China barat," kata Cohen, dalam opininya di The Guardian, dilansir Ahad (5/7).  

Cohen mengatakan, bahwa kekejaman China di Provinsi Xinjiang adalah kejahatan besar abad ke-21. Dia juga menyebut bahwa Partai Komunis Tiongkok telah menghidupkan kembali ketakutan totaliter pada era Mao.  Untuk menurunkan jumlah Muslim Uighur Xinjiang, cendekiawan China Adrian Zenz melaporkan, pemerintah Komunis itu telah memaksa perempuan untuk disterilisasi atau dipasangi dengan alat kontrasepsi. 

Jika mereka menolak, negara mengirim mereka untuk bergabung dengan satu juta orang Uighur dan minoritas Muslim lainnya yang ditahan di kamp yang didefinisikan negara sebagai kamp 'pendidikan ulang'. Sementara itu, investigasi BBC menemukan bahwa China memisahkan anak-anak dari keluarga mereka sehingga mereka tumbuh tanpa memahami Islam.  

Cohen berpendapat, jika negara Barat menunjukkan satu dari sekian banyak kebrutalan yang ditimbulkan China pada Muslim, maka kaum kiri global akan terbakar dengan kemarahan. 

Faktanya, pers bisa bebas meliput penindasan demokrasi China di Hong Kong, namun tidak dapat mendekati Xinjiang tanpa mengambil risiko luar biasa. Tanpa rekaman atas penderitaan mereka, kata Cohen, jutaan orang bisa menderita tanpa disadari dalam kegelapan.  "Tetapi alasan utama mengapa Muslim menderita dalam keheningan adalah bahwa negara-negara mayoritas Muslim yang mengamuk melawan Rushdie, Jyllands-Posten dan Charlie Hebdo telah memutuskan untuk tetap diam. Mereka menggunakan ide solidaritas Muslim hanya jika itu sesuai untuk mereka," kata Cohen.  

Pada Juli 2019, Pakistan, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Aljazair, dan negara-negara mayoritas Muslim lainnya membantu menghalangi gerakan barat di PBB yang menyerukan China mengizinkan 'pengamat internasional independen' memasuki wilayah Xinjiang. Iran mengeluarkan kritik sesekali, tetapi menginginkan dukungan China dalam perjuangannya melawan pemerintahan Donald Trump.  

Karena itulah, komplainnya hanya menjadi simbol. Cohen menilai negara-negara Muslim seperti Iran, Mesir, Suriah, dan negara lainnya mentolerir perlakukan pemerintah China, yang melakukan sterilisasi massal pada wanita Muslim. 

photo
Muslim Uighur di Cina - (Dokrep)

Bahkan, dia menyebut bahwa negara-negara Muslim akan memberikan sinyal persetujuan pada kamp konsentrasi China di Xinjiang. Atas langkah diamnya itulah, Cohen menyebut ada kemunafikan dari negara-negara Muslim terkait isu China.  

Di sisi lain, China kini menjadi suara yang lebih aktif dan berpengaruh di PBB, karena banyak negara yang diuntungkan oleh miliaran dolar dalam investasi China melalui program infrastrukturnya 'Belt and Road'. Tahun ini, ketika Australia meminta penyelidikan internasional tentang asal-usul Covid-19, mereka yang menghujat China menghadapi serangan cyber dan sanksi.  

Sementara itu, dalam sebuah survei tentang kekuatan China yang sedang tumbuh, para ekonom mencatat bahwa sikap diam atas China membuat dunia aman bagi otokrasi. Cohen mencontohkan presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang menurutnya membuat basis konservatifnya bahagia di Turki dengan menyamar sebagai orang kuat yang Islami. 

Namun, di sisi lain, Erdogan dikatakan tidak akan mengutuk penganiayaan terhadap Muslim oleh China, di saat dia juga ingin menyalahgunakan hak-hak lawan domestiknya.  

"Anda tidak mengatakan apa-apa tentang apa yang kami lakukan pada orang-orang kami dan kami tidak akan mengatakan apa-apa tentang apa yang Anda lakukan pada orang-orang Anda," ujarnya.  

Cohen kemudian mengutip ungkapan Salman Rushdie pada 1990 saat dia berbicara tentang Islam konservatif. Dalam ungkapannya, Rushdie mengatakan bahwa gagasan sakral adalah salah satu gagasan paling konservatif dalam budaya manapun, karena gagasan itu berusaha mengubah gagasan lain, ketidakpastian, kemajuan, perubahan, menjadi kejahatan.

Cohen lantas menambahkan, bahwa China kini mengubah kritik atas catatan tentang inkubasi virus Covid-19 dan kekejamannya terhadap minoritas Muslim, menjadi bentuk kejahatan.  "Dan orang-orang yang seharusnya berteriak paling keras menundukkan kepala mereka dalam keheningan yang penuh takzim," tambahnya.

 

Sumber: https://www.theguardian.com/commentisfree/2020/jul/04/why-do-muslim-states-stay-silent-over-chinas-uighur-brutality

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement