Sabtu 04 Jul 2020 21:26 WIB

Daerah Masih Memiliki Persoalan Besar dalam Belajar Virtual 

Yang memiliki akses untuk menunjang pembelajaran virtual, di bawah 60 persen.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Enggartiasto Lukita.
Foto: Republika/Imas Damayanti
Enggartiasto Lukita.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Adanya pandemi Covid-19, membuat semua harus melakukan lompatan untuk mengaplikasikan berbagai hal dengan IT. Salah satunya, proses belajar dan mengajar yang harus dilakukan secara virtual. 

Namun, Menurut Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) Enggartiasto Lukita, terkait pembelajaran virtual ini, persoalan besar di dalam proses pembelajaran masih ditemukan di daerah-daerah. Karena, dari berbagai laporan dan berbagai survei, saat ini, yang memiliki akses untuk menunjang pembelajaran virtual, prosentasinya di bawah 60 persen. Yakni, dilihat dari keterjangkauan, ketersediaan wi-fi internet, kepemilikan orang memiliki berbagai peralatan yang dibutuhkan, dan kesiapan gurunya.

"Mari kita jujur bahwa guru-guru kita tidak dipersiapkan untuk itu. Semua harus melihat secara utuh dan sekali lagi berulang kali saya sampaikan, Indonesia bukan hanya di Jakarta bukan hanya di Jawa bukan hanya di kota besar. Jadi kesenjangan kemampuan teknologi itu pun sangat jelas, terutama di daerah," ujar Enggar saat menjadi salah satu pembicara di Webinar Series IKA UPI, dengan tema Menyoal Kompetensi Guru di Era Digital, Sabtu (4/7).

Enggar mengatakan, guru tidak bisa disalahkan dengan kondisi saat ini. Walaupun, ada beberapa guru yang melakukan hal-hal yang tidak tepat, seperti hanya sekedar memberikan tugas dan sebagainya. Kondisi ini terjadi karena, standar mengenai penyesuaian kurikulum dan silabusnya, dalam kondisi ini belum terpublikasi belum merata di seluruh daerah. 

"Sehingga tidak ada pilihan bagi guru tidak ada pilihan bagi mereka untuk hanya sekedar memberikan tugas-tugas saja, tidak tahu apa yang harus dilakukan," katanya.

Kemudian, kata dia, muncul persoalan siapa yang harus bertanggung jawab dengan kondisi ini. Memang, tidak bijaksana kalau kita menyatakan bahwa ini tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal ini kementerian pendidikan. Tapi, di satu sisi tidak bisa dipungkiri Kementerian Pendidikan memang yang seharusnya memberikan arah kepada semua guru.

"LPTK seharusnya mengambil peran guidance ini atau penugasan ini oleh Kementerian Pendidikan bisa diberikan kepada LPTK untuk melakukan ini, tetapi dengan satu panduan yang jelas," katanya. 

Enggar menilai, agar kualitas pembelajaran semuanya sama maka semua guru harus dibekali di tengah situasi pandemi seperti ini. Agar, minimal ada keseragaman kualitas pendidikan.

"Kenapa harus LPTK, karena kami berpendapat bahwa LPTK adalah memang lembaga pendidikan tinggi yang dikhususkan untuk itu. Melalui Ketua komisi 10 DPR RI, kami mohon bisa juga direalokasikan anggaran untuk itu," katanya.

Kebutuhan anggarannya pun, kata dia, sebenarnya tidak besar. IKA UPI sendiri, akan berbicara dengan kampus UPI untuk mencoba menyusun walaupun mungkin ada kekhawatiran ini bisa disalahkan oleh pemerintah. Namun, pihaknya hanta akan mencoba sedikit memberikan bekal kepada guru melalui jaringan melalui YouTube yang saat ini sudah ada.

"Untuk wilayah Jawa Barat saja belum semua merata kualitasnya, apalagi di daerah," katanya. 

Enggar berharap, masalah kesenjangan kualitas pendidikan ini bisa menjadi perhatian Komisi 10 DPR RI, di dalam rapat kerjanya. Karena, hal ini merupakan persoalan yang sangat serius. "Kami betul-betul khawatir kesenjangan murid dari anak antara daerah satu dengan kota-kota besar akan semakin besar," katanya.

Menurtnya, Indonesia baru saja menyambut dengan bangga karena masuk upper middle income. Untuk mempertahankan ini, seharusnya pertumbuhan harus merata dan harus berada di daerah-daerah terutama di wilayah-wilayah yang masih tertinggal agar Indonesia tetap bisa menjaga posisi ini. 

"Tapi itu tidak akan terjadi kalau pendidikan tidak bisa membawa kita pada 10 sampai 15 tahun yang akan datang karena kita juga tidak tahu apa yang terjadi tetapi pembekalan kepada pada generasi mendatang itu harus disiapkan mulai dari sekarang," paparnya.

Sementara, menurut Ace Suryadi dari PGRI, masalah guru di Indonesia hingga saat ini masih memiliki berbagai persoalan. Salah satunya, di era otonomi daerah pelatihan guru menjadi sangat langka. Jika sebelumnya, pelatihan yang diperoleh guru ini 25 sampai 50 hari pertahun. Namun, setelah desentralisasi guru yang memperoleh pelatihan kurang dari 10 persen dengan rata-rata jumlah pelatihannya 5 sampai 7 hari pertahun.

"Kondisi ini terjadi karena anggaran pelatihan guru sangat minim bahkan tak ada sama sekali. Karena, belum menganggap pelatihan ini penting atau belum memiliki tenaga profesional karena belum bekerja sama dengan LPTK," katanya.

Ace mengatakan, PGRI memberikan beberapa saran pada Kementerian Pendidikan. Yakni, kompetensi utama perlu dirumuskan dengan konseptual, jelas dan terukur. Kedua, merumuskan standar kompetensi yang jelas. Terakhir, standar kompetensi yang dirumuskan itu harus diukur capainnya sebagai umpan balik untuk perbaikan mutu pembelajaran. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement