Sabtu 04 Jul 2020 02:10 WIB

OTT Suami-Istri Pejabat Kutai Timur, Akhiri Politik Dinasti

OTT suami istri pejabat Kutai Timur potret buruk politik dinasti.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Nashih Nashrullah
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango (tengah), Deputi Penindakan KPK Karyoto (kiri), Juru Bicara KPK Ali Fikri (kanan) saat konferensi pers terkait kegiatan tangkap tangan kasus korupsi terhadap Bupati Kutai TImur di Gedung KPK, Jumat (3/7).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango (tengah), Deputi Penindakan KPK Karyoto (kiri), Juru Bicara KPK Ali Fikri (kanan) saat konferensi pers terkait kegiatan tangkap tangan kasus korupsi terhadap Bupati Kutai TImur di Gedung KPK, Jumat (3/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat politik dari Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mendorong larangan politik kekerabatan atau dinasti politik diatur dalam undang-undang (UU). 

Hal ini dia sampaikan untuk merespons operasi tangkap tangan KPK terhadap Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya, yang juga Ketua DPRD Kabupaten Kutai Timur, Encek Unguria Riarinda Firgasih, pada Kamis (2/7) malam di Jakarta.  

Baca Juga

Menurut dia, rencana Rancangan UU tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang dibarengi dengan revisi UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi kesempatan memasukkan ketentuan larangan politik kekerabatan. "Kan sekarang dijadikan satu dengan undang-undang pemilu, ya itu kesempatan," ujar Siti Zuhro saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (3/7).

Siti Zuhro menghitung, kasus OTT kepala daerah setidaknya sudah mencapai angka 430-an. Sementara, OTT dugaan kasus korupsi terhadap Bupati dan Ketua DPRD Kutai Timur yang berstatus suami istri membuktikan politik kekerabatan dalam pemerintahan masih terjadi meski pilkada langsung sudah digelar sejak pertangahan 2005 lalu.  

Dinasti politik membuat aspek pemerintahan yang baik atau good governance tidak dijalankan sehingga tidak transparan dan tidak akuntabel. Apalagi saat DPRD yang berfungsi sebagai pengawas kinerja kepala daerah, saat politik kekerabatan hanya cukup tahu sama tahu.

"Yang satunya wakil rakyat, yang satunya eksekutif atau eksekutor, yang terjadi tidak menjalankan tugas dan fungsinya, cuma membangun kekuasaan," ungkap Siti Zuhro.

Pilkada langsung seharusnya membuat roda pemerintahan lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif. Akan tetapi, yang terjadi justru semakin menguatkan pohon dinasti politik kekuasaan.

"Sampai 2016 kalau enggak salah atau 2017, kasusnya sudah 65 politik kekerabatan, apalagi sekarang 2020. Jadi cukup banyak praktik-praktik politik kekerabatan. Ini yang disebut paradoks demokrasi," kata Siti Zuhro.

Dia mencontohkan, politik kekerabatan masih mengakar di Banten, mulai dari kakak, adik, adik tiri, ibu tiri, sampai adik ipar menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. 

Bahkan, dua orang istri bupati Kabupaten Kediri bertarung menjadi bupati untuk menggantikan suaminya pada Pilkada Mei 2010 lalu.    

Tak sedikit juga istri atau anak mantan kepala daerah menggantikan posisi suaminya sebagai orang nomor satu di kabupaten atau kota tempat tinggalnya. 

Menurut Siti, fenomena tersebut justru mengaburkan tujuan esensial dari penyelenggaraan pilkada langsung untuk mewujudkan demokrasi substantif, bukan hanya demokrasi prosedural. 

Dengan demikian, kepala daerah yang dihasilkan pilkada langsung justru kepala daerah yang tidak terseleksi secara memadai. 

Harapan melaksanakan pilkada langsung untuk mencetak kepala daerah yang mumpuni dan berintegritas tidak tergapai.

Dia menambahkan, larangan politik kekerabatan sebenarnya sudah tercantum dalam UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015. 

Akan tetapi, pasal yang mengunci supaya tidak terjadi praktik politik kekerabatan diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap melanggar hak setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. MK akhirnya mengabulkan gugatan tersebut.

Siti Zuhro mengatakan, aturan mengenai larangan politik kekerabatan menjadi tanggung jawab moral partai politik, yang anggotanya kini menduduki kursi parlemen sebagai pembuat undang-undang. 

Partai politik juga harus bertanggung jawab menghadirkan calon-calon kepala daerah yang bertekad memajukan wilayahnya, bukan membangun kekuasaan semata. 

KPK menetapkan tujuh tersangka dalam kegiatan tangkap tangan atas kasus korupsi dalam bentuk penerimaan hadiah atau janji terkait pekerjaan infrastruktur di lingkungan Kabupaten Kutai Timur diantaranya  Bupati Kutai Timur dan istrinya sekaligus Ketua DPRD Kutai Timur serta, Kepala Bapenda dengan inisial (MUS), Kepala BPKAD (SUR), Kepala DInas PU (ASW), JA dan AM selaku rekanan dengan barang bukti uang tunai senilai Rp170 juta, Saldo tabungan Rp4,8 Miliar, dan sertifikat deposito sebesar Rp1,2 M.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement