Sabtu 04 Jul 2020 05:12 WIB

Umat Islam: Hukum yang Ditolak Rakyat

Umat Islam menolak RUU HIP tanpa reserve

Palu hakim
Foto: Flickr
Palu hakim

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: DR Sobirin Malian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta (FH-UAD)

Mencermati perjalanan hukum era Jokowi (dua periode) sebetulnya tidak bisa kalau hanya melihatnya dari satu RUU dalam hal ini RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) saja. Ada beberapa RUU (rancangan ) dan  perundang-undangan yang telah berlaku yang sejatinya juga tidak kalah kontroversinya dibandingkan dengan RUU HIP, sebutlah misalnya, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang kemudian melumpuhkan KPK, UU Minerba Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang diselesaikan DPR bersama pemerintah hanya dalam kurun waktu tiga bulan, yaitu sejak Februari hingga Mei 2020.

UU Minerba dianggap hanya menguntung pihak pemilik modal saja, sementara kerusakan lingkungan dan dampak lainnya tidak dipertimbangan. Isu paling penting UU Minerba ini berpotensi bertentangan dengan Pasal 33 terutama ayat (3) UUD NRI 1945. Juga pasal 169 A dan B tentang Kontrak karya, dimana kemudahan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan perpanjangan IUPK tanpa melalui proses lelang yang berpotensi seenaknya.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah, menyatakan UU Minerba seharusnya ditolak karena jelas merugkan negara. Juga UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU ini  misalnya pada Pasal 27 terbukti adalah pasal “karet” yang justru banyak membungkam kebebasan berpendapat.

Masalah yang tidak kalah pentingnya adalah masalah penegakan (law enforcement) yang dalam beberapa survei diberi angka merah. Publik masih bertanya-tanya bagaimana kasus-kasus besar seperti penanganan Jiwasraya, ASABRI, E-KTP dan lain-lain yang hingga kini belum jelas juntrungannya.

Themis Says | The Blog of the Feminist Legal Studies Group at Monash

 

Tiga Tipe Hukum

Memotret penegakan hukum di era Jokowi, paling tidak bisa menggunakan teori Selznick & Nonet (Marwan Mas,2018). Tipe pertama yaitu hukum represif. Pada tipe ini hukum merupakan alat kekuasaan represif, dan mengabdi pada kekuasaan. Hukum represif pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat melalui upaya dan tindakan pengamanan. Sayangnya, ketertiban dan tindakan itu hanya dipersepsikan sendiri dalam “versi sepihak” pemerintah sehingga kurang merefleksikan harapan dan aspirasi masyarakat.

Ciri lain hukum represif adalah hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk pada kepentingan negara (pemerintah); perspektif resmi mendominasi segalanya, dan penguasa cenderung hanya menjustifikasi perilaku dirinya. Badan-badan pengawas atau badan penegak hukum justru berupaya digabungkan menjadi bagian dari eksekutif, contoh Polri atau KPK.  Begitu badan itu menjadi bagian dari eksekutif (yang dipayungi) dengan undang-undang, maka badan itu menjadi resmi penerjemah apa maunya pemerintah (negara).

Ciri kedua, menurut   Selznick & Nonet (Marwan Mas,2018), hukum otonom. Hukum tipe ini sebagai institusi yang bebas dalam bekerja tipe hukum ini melakukan legitimasi didasarkan pada prosedur sebagai pusat hukum. Sejatinya tipe hukum ini diorientasikan untuk mengawasi kekuasaan refresif dan cenderung memisahkan diri dari aspek (kepentingan) yang ada di luar hukum.

Sayangnya tipe hukum otonom dalam implementasinya seringkali justru terjebak pada “permainan” penguasa. Pada akhirnya tipe hukum otonomi ikut arus pada model hukum represif dikendalikan oleh penguasa.

 

Ciri ketiga, hukum responsif yaitu penempatkan hukum sebagai fasiltator yang merespons kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Faktor terpenting dan menonjol dalam tipe hukum responsif, menurut Selznick & Nonet adalah: (1) Pergeseran penekanan dari aturan-aturan kepada prinsip-prinsip dan tujuan; (2) pentingnya kerakyatan, baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.

Yang menarik, tujuan hukum responsif sebenarnya adalah agar hukum lebih cepat tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta lebih efektif dalam menangani masalah-masalah sosial. Dapat dikatakan, tipe hukum responsif sangat peka terhadap dinamika  dan perkembangan hukum serta selalu menyelaraskan dirinya dengan kehidupan masyarakat.

Di sinilah, biasanya tipe hukum ini mampu mengendalikan setiap tuntutan dengan cara merespon setiap potensi (gejolak) yang timbul dari masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Konklusi dari tipe hukum ini adalah, timbulnya ketaatan dan kesadaran serta manfaat hukum sesuai dengan nilai yang dianutnya. Di Indonesia penggerak tipe hukum ini adalah almarhum Prof.Satjipto Rahardjo.

Hukum Ditolak

Melihat fenomena penegakan hukum di era Jokowi, sangat jelas arahnya ke hukum represif. Dalam konteks RUU HIP, penulis berharap RUU itu segera dicabut dari prolegnas dan jangan lagi caba-coba dimasukkan karena akan senantiasa memancing gejolak dan berhadapan dengan kemarahan masyarakat.

Perlu diingatkan, bahwa kekecewaan, kemarahan dan rasa frustrasi masyarakat terhadap penegakan hukum dan penyimpangan ideologi negara dapat membuat situasi politik menjadi blunder (chaos). Bukan tidak mungkin akan terjadi “hukum yang terceak di jalanan” oleh masyarakat karena pemerintah dan DPR/DPD tidak peka dan jauh dari aspirasi yang mereka minta.

Untuk itu, diperlukan sikap dan watak kenegarawan dari elit politik melihat gejolak dan (potensi)  adanya “hukum yang tercetak di jalanan” itu. Tentu kita berharap sebelum semuanya berkembang lebih tidak terkendali, tentu akan lebih bijak aspirasi atau tepatnya tuntutan masyarakat itu diperhatikan. Wallahu’alam bssawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement