Jumat 03 Jul 2020 11:08 WIB

Hijrah dari Merek Pro-LGBT, Mampukah?

Pilihan konsumsi masyarakat juga akan sangat berdampak pada kemandirian umat.

LGBTQ
Foto: Tim infografis Republika
LGBTQ

REPUBLIKA.CO.ID, Dukungan terhadap kampanye lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ) didengungkan perusahaan multinasional pembuat produk-produk kebutuhan rumah tangga.

Sudah bertahun-tahun perusahaan itu memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim Indonesia dari pasta gigi, sabun, detergen, pelembut pa kaian, mentega, hingga penyedap makanan. 'Endorser' LGBT bukan hanya mereka. Kita bisa dengan mudah menyaksikan brand-brand ternama yang kerap digunakan masyarakat menyokong kampanye mereka. Variannya merata, mulai dari sepatu, perabot rumah tangga, hingga produsen telepon genggam.

Seruan boikot hanya kerap sampai di telinga. Segenap pemakluman lebih lantang disuarakan. Dari sulitnya mencari produk sejenis dengan kualitas yang sama, kenyamanan konsumsi, tradisi, hingga beribu alasan lainnya. Pemakluman itu tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena memang produk-produk tersebut sudah mendapat sertifikat halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lulus uji Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kualitas barang-barang nonpangan pun tergolong baik dan amat lazim digunakan masyarakat kita.

Di sisi lain, umat Islam mafhum jika agama ini melarang LGBT. Ayat-ayat Alquran dengan tegas melarang perilaku yang menentang fitrah tersebut. "Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas." (QS al-A'raf: 81).

Dalam kitab sahih disebutkan melalui hadis Az-Zuhri, dari Ur wah, dari Aisyah RA bahwa dahulu ada seorang lelaki banci yang biasa masuk menemui istri Rasulullah SAW. Mereka menganggapnya termasuk orang lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Pada suatu hari Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam rumahnya, sedangkan lelaki tersebut sedang menggambarkan perihal seorang wanita.

Lelaki itu mengatakan bahwa wanita tersebut apabila datang, melangkah dengan langkah yang lemah gemulai. Apabila pergi, ia melangkah dengan lemah gemulai disertai dengan goyangan pantatnya. Maka, Rasulullah SAW ber sabda: Bukankah kulihat orang ini mengetahui apa yang ada di sini? Jangan biarkan orang ini masuk menemui kalian! Maka Rasulullah SAW mengusir lelaki itu, kemudian lelaki itu tinggal di Padang Sahara. Dia masuk (ke dalam kota) setiap Jumat untuk mengemis meminta makanan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah menetapkan Fatwa No 57/2014 yang mengharamkan LGBT. Dalam pandangannya, MUI menilai pengharaman terhadap LGBT termasuk pada tindakan mengampanyekannya. Aktivitas LGBT bertentangan dengan Pancasila sila satu dan dua serta UUD 45 Pasal 29 Ayat 1 dan Pasal 28 J. Selain itu, aktivitas LGBT ber tentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan penyakit berbahaya bagi masyarakat.

Berbagai dalil tersebut mengharuskan umat Islam menolak LGBT. Meski demikian, banyak di antara kita yang pasrah dengan aksi dukungan berbagai perusahaan terhadap gerakan LGBT. Merek-merek itu pun masih kita konsumsi setiap hari. Padahal, di sini kemandirian dan kepercayaan diri umat untuk mengikuti syariat tengah di uji. Apakah umat Islam rela ada persentase dari dana belanjanya yang dialokasikan untuk mendukung LGBT?

Bila berbicara lebih makro, mengutip pendapat Umer Chapra dalam Islam dan Tantangan Ekonomi, Islam merumuskan sistem ekonomi yang berbeda dari sistem sekuler yang berlaku saat ini. Tujuan-tujuan Islam--yang disebut maqashid asy-Syari'ah dalam pandangan Imam Al Ghazali menunjukkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mewujudkan hal yang tak sepenuhnya materi.

Maqashid merupakan segala sesuatu yang dianggap perlu untuk melindungi dan memperkaya iman, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda. Al Ghazali meletakkan iman di awal daftar maqashid. Sebaliknya, sang imam menaruh harta benda di tempat paling akhir. Iman adalah ramuan terpenting untuk kesejahteraan manusia. Dengan iman, manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya dalam satu sikap yang seimbang dan saling memperhatikan untuk membantu memantapkan kesejahteraan.

Hal yang tidak kalah penting, iman memberikan filter moral dalam meraih kesejahteraan. Fondasi iman ini akan tampak pada sikap dan perilaku. Termasuk, dalam memilih produk apakah akan berkontribusi kepada kemaksiatan atau kebaikan.

Tidak hanya itu, pilihan konsumsi masyarakat juga akan sangat berdampak pada kemandirian umat. Banyak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang akan terbantu ketika ada hijrah ekonomi. Hijrah ini juga menjadi bagian dari ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah untuk memperkuat umat dan bangsa. Lewat hijrah ekonomi ini, kita bisa menjadi kateogri yang dikatakan Alquran. "Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan (nasib) suatu kaum sehingga mereka meng ubah keadaan (nasib) yang ada pada diri mereka sendiri." (QS ar-Rad: 11).

Kisah para nabi yang amat mandiri saat berdakwah kepada kaumnya hendaknya juga menjadi pelajaran bagi kita. Mereka diutus Allah SWT ke bumi dengan bekal keterampilan dan ilmu pengetahuan di atas manusia biasa. Dengan itu, mereka mampu memenuhi kehidupan di dunia. Cara itu pula yang menjadikan mereka mandiri dan lepas dari intervensi kaumnya. Kita bisa saksikan bagaimana pernyataan Nabi Nuh kepada kaumnya.

Di sini kita membaca jika para nabi tak membutuhkan harta benda masyarakat di mana dia tinggal untuk kepentingan dakwahnya. Semangat kemandirian para nabi itu yang kita butuhkan untuk melawan propaganda LGBT. Wallahu a'lam.

sumber : Dialog Jumat
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement