Jumat 03 Jul 2020 07:08 WIB

Mengapa Kita Bertaawuz?

Atas kelebihan yang dimiliki, manusia kemudian dilantik sebagai khalifah di bumi

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang juga Ketua BNPB Doni Monardo (kiri) memberi salam Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar (kanan) seusai memberikan keterangan pers terkait Fatwa MUI No 14 Tahun 2020 tentang Penyelanggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19 di Graha BNPB, Jakarta, Jumat (20/3/2020).
Foto: ANTARA/APRILLIO AKBAR
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang juga Ketua BNPB Doni Monardo (kiri) memberi salam Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar (kanan) seusai memberikan keterangan pers terkait Fatwa MUI No 14 Tahun 2020 tentang Penyelanggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19 di Graha BNPB, Jakarta, Jumat (20/3/2020).

 

Oleh Prof KH Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)

REPUBLIKA.CO.ID, Orang yang memahami dan menyadari dirinya pasti akan sadar bahwa taawuz adalah sebuah keniscayaan. Meskipun manusia adalah makhluk Allah SWT yang paling istimewa, sebagaimana dijelaskan dalam ayat: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya/QS al-Tin/95:4).

Manusialah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan mengemban amanah besar dari Allah SWT, sebagaimana diungkapkan dalam Alquran: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia”. (QS al-Ahdzab/33:72). 

Atas kelebihan yang dimiliki ini, manusia kemudian dilantik sebagai khalifah di bumi: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’". (QS al-Baqarah/2:30).

Manusia memiliki kapasitas ganda sebagai khalifah atau representatif Tuhan dan sekaligus sebagai hamba: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS al-Zariyat/51:56). Manusia satu-satunya makhluk Tuhan yang teomorfis,  yang di dalam dirinya tergabung dua dimensi, yaitu dimensi Lahut (QS al-Hijr/15:29) dan nasut (QS al-Naml/27:82). Di dalam dirinya juga menyatu dua kekuatan besar, yaitu kekuatan maskulin (quwwah jalaliyyah) dan kekuatan feminin (//quwwah jamaliyyah//), sebuah kombinasi yang tidak dimiliki makhluk lain. 

Kombinasi inilah yang memberi kemungkinan sekaligus kemampuan manusia untuk memikul kapasitas sebagai khalifah bumi (//khalaif al-ardh//). Namun, menurut SH Nasr, kombinasi ini juga menjadikan manusia sebagai makhluk eksistensialis, yakni makhluk yang bisa turun-naik martabatnya di sisih Allah SWT. Manusia bisa menjadi makhluk termulia (//ahsan taqwim///QS al-Tin/95:4), tetapi manusia juga bisa menjadi makhluk paling hina (asfala safilin/QS al-Tin/95:5, QS al-A‘raf/7:179). Hampir semua agama-agama besar dunia menganggap manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, sebagaimana dikatakan oleh S Abhayananda: Manusia adalah puncak ciptaan Tuhan. Hanya manusia yang mampu betul-betul menyatu dengan diri-Nya.

Makhluk lain, tidak terkecuali malaikat, tidak mungkin berdosa karena tidak memiliki kekuatan maskulin. Mereka memiliki kekuatan feminin yang lebih menonjol. Malaikat dan makhluk lainnya hanya bisa merepresentasikan aspek perbedaan dan ketakterbandingan (tanzih), tetapi tidak bisa merepresentasikan aspek keserupaan dan keterbandingan (tasybih). Sebaliknya manusia, dengan kombinasi kedua kekuatan yang dimilikinya mampu mencapai maqam "sintesa ketuhanan" (al-jam’iyyah al-ilahiyyah). 

Manusia mampu menampilkan sifat-sifat jalaliyyah di samping sifat-sifat jamaliyyah Tuhan. Tidak heran jika manusia mampu mencapai makrifat tingkat lebih tinggi, sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran: Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi), lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan, hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya, maka apakah kamu (musyrikin Makkah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. (QS al-Najm/53:7-14). Ke-14 ayat ini sesungguhnya memiliki makna spiritual yang amat penting, tetapi penjelasan tuntasnya akan diuraikan ketika membahas ayat ini.  (Bersambung)

 

sumber : Dialog Jumat
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement