Jumat 03 Jul 2020 04:31 WIB

Bukan Humor Gus Dur: Di Clayton Awal Gagasan Menuju Presiden

Ternyata bagi Gus Dur menjadi presiden bukan lucuan, tapi cita-cita yang terpendam.

Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.
Foto: Google.com
Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fachry Ali MA, Pengamat Sosial Keagamaan

Berbeda dengan biasanya yang penuh canda dan bersikap santai, saya akan kenang kisah serius yang mungkin kala itu bisa dianggap 'lucuan'. Kisah kali ini adalah tentang percakapan Kiai Abdurahhman Wahid (Gus Dur) saat menginap di rumah saya ketika tinggal di kawasan Clayton, Australia. Ini adalah soal awal Gus Dur  menuju tampuk presiden.

Untuk soal gagasan ini saya pun pernah ucapkan dalam wawancara dengan Majalah Gatra, 26 Desember 1998, pada halaman 28. Di situ saya katakan bahwa saya ‘yakin Kiai Abdurrahman Wahid mengincar target menjadi presiden.’

Lalu d
ari mana asal keyakinan saya —bahwa Kiai Abdurrahman Wahid akan menjadi presiden?
 Bila diingat jejak ini berawal dari kejadian delapan  tahun sebelumnya, saat Cak Dur atau Kiai Abdurhaman Wahid (begitu saya memanggilnya) tinggal beberapa lama di rumah saya, Clayton, Melbourne tersebut.

Kisahnya begini. Ketika itu, tinggal kami berdua di malam yang kian larut itu. Tamu terakhir telah 15 menit pamit pulang.
 Sambil menyenderkan punggung ke kursi panjang (yabg pembeliannya di tempat loak telah saya ceritakan), Kiai Abdurrahman Wahid tiba-tiba berkata tentang gundah hatinya. Dia mengucap begini dengan nada setengah jengkel.

"Masak saya dicalonkan wakil presiden untuk pemilu 1997,'' ujar Gus Dur.

Mendengar dia berkata begitu lalu saya bertanya: "Siapa yg mau mencalonkan itu?"

Kiai Abdurrahman Wahid menjawab: "Ada beberapa jendral dan pensiunan jendral."


Lalu saya bertanya lagi kepadanya: ‘Terus Cak Dur mau". Sesaat dia terlihat berpikir sejenak.

Lalu Kiai Abdurrahman Wahid menjawab: "Eh nanti dulu! Apa ini perkaranya?"

’Mendengar jawaban Kiai Abdurrahman Wahid itu, saya menukas dengan cepat: "Benar Cak Dur. Jadi presiden saja sekalian." jawab saya pendek. Setelah itu dalam jangka waktu lama seolah cita-cita menjadi presiden menjadi terlupakan. Gus Dur pun terkesan melupakannya dan mungkin tak meningatnya lagi.

Tapi waktu terus bergulr. Dalam kemelut politik akibat krisis finansial, turunnya wibawa negara dan kemunculan tokoh-tokoh baru luar negara yang menjadi penantang Presiden Suharto, seperti yang saya katakan dalam Gatra, Desember 1998 itu, ‘Percakapan Clayton’ antara Kiai Abdurrahman Wahid dan saya delapan tahun sebelumnya, terbukti.

  • Keterangan foto: Koleksi kliping Fachry Ali di Majalan Gatra, Desember tahun 1988 yang menyakini Gus Dur memang akan jadi presiden.

Bahkan percakapan itu telah membentuk keyakinan saya bahwa Kiai Abdurrahman Wahid akan menjadi presiden. Dan benar saja, melalui sidang MPR 1999, sang kiai —yang tiap malam bergolek di atas karpet rumah saya di Clayton sambil nonton film atau tv— terpilih menjadi presiden.Luar biasa bukan?

Terimakasih kepada majalah Gatra yang telah menjadi wadah mengungkapkan keyakinan saya setahun sebelum Kiai Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Dan di situ saya yakin sekali di balik lucuan dan kebiasaan humornya yang selalu menyegarkan suasana, Gus Dur ternyata orang serius. Sosok yang punya cita-cita besar, bahkan sangat besar dan mulia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement