Kamis 02 Jul 2020 12:59 WIB

Komunikasi Transparansi, Mengupayakan Keadilan Kasus Novel

kasus Npve;

Penyidik KPK Novel Baswedan selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Penyidik KPK Novel Baswedan selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Verdy Firmantoro, Peneliti Indopol Survey & Mahasiswa Program Doktoral (S3) Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

   

Tuntutan ringan hanya satu tahun penjara pada para pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan sontak membuat publik heran dan merasa janggal. Pasalnya praktik kekerasan itu bukan sekadar melukai fisik penyidik KPK tersebut, melainkan disinyalir mencederai nurani keadilan, serta masa depan penegakan korupsi di negeri ini.

Pada saat yang sama, beberapa waktu terakhir ini RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sempat diproses. Terlepas RUU tersebut juga menuai pro kontra, upaya menjaga kedaulatan dan memastikan parameter kebijakan yang dibuat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila menjadi orientasi bersama. Persoalannya, masih adakah Pancasila itu di negeri ini?

Saat keadilan yang seharusnya ditegakkan oleh para penegak hukum justru ada kecenderungan dilemahkan sendiri. Padahal, muara akhir dari tuntasnya ke-Pancasila-an kita adalah dengan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tulisan James W. Carey tentang Communication as Culture (2009), menyebutkan bahwa keadilan menjadi salah satu unsur yang penting dalam memenuhi pencapaian kualitas demokrasi. Lebih lanjut Carey menjelaskan bahwa pemenuhan keadilan dalam perspektif komunikasi berkaitan dengan upaya maintenance of society yang mengarah pada representasi kepercayaan bersama (representation of shared beliefs). Poinnya adalah, setiap tindakan yang diambil selalu diuji terkait sejauhmana dapat mencerminkan kepercayaan bersama atau justru sebaliknya.

Hal tersbut misalnya, dalam konteks penanganan kasus Novel Baswedan, kesepahaman bersama antara publik dengan penegak hukum belum terjadi. Di sinilah potensi persoalan timbul, ketika para penegak hukum pada dasarnya bukan sekedar berhadapan dengan para pelaku dan korban dalam kasus tersebut, tetapi lebih luas berhadapan dengan publik. Publik dalam hal ini tengah menuntut keadilan, jika tidak dipenuhi, bukan tidak mungkin mereka akan menggunakan jalur-jalur lain demi tercapainya kehendak bersama itu.

Potensi Absennya Pancasila dan Anomali Penegakan Keadilan Kasus Novel

Hakikat kedaulatan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terletak pada sejauhmana teraktualisasikannya setiap sila-sila di dalamnya. Pancasila bukan sekedar lambang negara, ia menjadi kompas kehidupan bagi warganya. Lantas jika nilai-nilai di dalamnya tidak hidup, bahkan yang terjadi sebaliknya, keadilan terkooptasi atau terkoyak oleh praktik-praktik yang justru mendegradasi penegakkan hukum. Apakah layak jika kondisi seperti ini kita sebut bahwa Pancasila tidak sedang hadir di “bumi manusia”?

Kasus Novel Baswedan sebenarnya sudah lama, terhitung sejak tahun 2017. Kasus ini mendapat sorotan publik, karena peran Novel sebagai penyidik senior KPK yang tentu mempunyai kewenangan dalam menegakkan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Persoalannya tentu bukanlah perkara mudah, bekerja di jalur sunyi, mengusik kenyamanan para penguasa yang terlibat kasus korupsi. Sederhananya, profesi ini mengundang banyak musuh, yakni para pihak yang merasa terancam dengan kehadiran lembaga anti rasuah. Mereka mempunyai kepentingan besar yang barangkali tidak ingin korupsinya diungkap atau bahkan ditindak.

Seperti halnya dalam studi Antoni (2013) bahwa hubungan dalam praktik korupsi bersifat saling mengunci (interlocking directorate). Hal tersebut dapat dimaknai bahwa kohesivitas para elite kapitalis, tidak kalah kompak dengan praktik gotong royong ala masyarakat paguyuban. Bedanya, yang satu bekerjasama mengeruk uang negara, yang satu bergandengan tangan membangun bangsa.

Tuntutan satu tahun penjara atas penyerangan Novel dengan dalil jaksa bahwa para pelaku melakukannya secara tidak sengaja menggambarkan adanya potensi absennya Pancasila dalam penegakkan keadilan terhadap kasus tersebut. Pancasila dianggap absen, bukan karena para penegak hukum tidak hafal sila-silanya, tetapi belum tuntas menghayati dan mengamalkan dalam laku kebijakannya. Jadi, asumsinya selengkap apa pun upaya merancang perundangan haluan ideologi Pancasila, selama tidak ada komitmen dan integritas dari para pemangkunya terutama para penegak hukumnya, sepanjang itu pula hakikat Pancasila akan absen dan hanya menjadi sebuah utopia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement