Kamis 02 Jul 2020 09:40 WIB

Warga Palestina Demonstrasi Tolak Aneksasi

Warga Palestina berdemo di Ramallah dan Gaza menetang pencaplokan Tepi Barat

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
 Seorang gembala Palestina menggembalakan kawanannya di sebelah desa Tepi Barat Al Fasayil, di Lembah Yordan, Selasa, 30 Juni 2020. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampaknya bertekad untuk melaksanakan janjinya untuk mulai mencaplok bagian-bagian Tepi Barat yang diduduki, mungkin secepat Rabu.
Foto: AP / Oded Balilty
Seorang gembala Palestina menggembalakan kawanannya di sebelah desa Tepi Barat Al Fasayil, di Lembah Yordan, Selasa, 30 Juni 2020. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampaknya bertekad untuk melaksanakan janjinya untuk mulai mencaplok bagian-bagian Tepi Barat yang diduduki, mungkin secepat Rabu.

REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Menteri Luar Negeri Israel Gabi Ashkenazi mengatakan pengumuman rencana aneksasi tidak akan segera terjadi, Rabu (1/7). Meski keputusan Israel mencaplok sepertiga dari Tepi Barat yang telah diduduki secara ilegal kemungkinan akan ditunda, warga Palestina tetap mengadakan protes di Ramallah dan Kota Gaza.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengumumkan akan memulai aneksasi pada 1 Juli. Namun, Ashkenazi menyatakan kemungkinan itu tidak akan tepat waktu dan memilih untuk Netanyahu menjelaskan lebih rinci.

Baca Juga

Tapi, sekitar 150 demonstran Palestina berkumpul pada Rabu malam di pusat Ramallah untuk mengecam rencana pencaplokan tersebut. Mereka mengatakan meskipun ada deklarasi yang ditunda, pencaplokan masih bisa saja terjadi.

Dengan membawa poster dan mengibarkan bendera Palestina, banyak warga meneriakkan slogan-slogan anti-pendudukan. Beberapa meneriakan "Hentikan, hentikan pendudukan" dan "Kami akan bertahan sampai pembebasan penuh. Kami tidak akan pergi".

"Ini adalah sejarah yang berulang. Rencana aneksasi adalah satu lagi Nakba [bencana] dan Naksa [hari kemunduran]," ujar Zeina Mustafa saat melakukan demonstrasi itu.

Zeina merujuk pada eksodus Palestina 1948 yang melibatkan lebih dari 700 ribu orang Arab Palestina terusir dari rumah dan pengumuman berdirinya negara Israel. Dia pun menyinggung peristiwa 1967 dengan enam hari perang saat Israel mengambil kendali atas Tepi Barat dari Yordania dan Jalur Gaza dari Mesir.

Bagi Belal Gaith yang merupakan warga Ramallah, rencana aneksasi akan mendorong warga Palestina lebih jauh di bawah pendudukan dan pemerintahan militer. "Segera setelah rencana aneksasi diumumkan, itu akan menjadi akhir dari Kesepakatan Oslo," katanya merujuk pada perjanjian 1993 yang membentuk Otoritas Palestina (PA).

Banyak warga Palestina percaya rencana aneksasi itu hanya formalitas dan pendudukan Israel secara de facto telah berlangsung selama bertahun-tahun. "Rencana aneksasi Israel telah dalam proses sejak 1967," kata koordinator kampanye anti-pendudukan yang disebut Komite Populer untuk Menolak Tembok dan Permukiman, Salah Khawaja.

"Israel sejak itu telah membangun permukiman dan tembok. Maka, aneksasi telah berlangsung lama," kata Salah dikutip dari Aljazirah.

Aneksasi yang dilakukan Israel merupakan langkah lanjutan dari rencana Timur Tengah dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Januari. Proposal tersebut ingin mendirikan negara Palestina yang terdemiliterisasi di atas tambalan wilayah yang sudah terpencar.

Menteri Pertahanan Benny Gantz mengatakan pekan lalu aneksasi harus menunggu sampai krisis virus corona berakhir. Para pejabat militer dan intelijen Israel juga telah memperingatkan langkah itu dapat menyebabkan pemberontakan di Tepi Barat, yang akan menjadi risiko keamanan besar bagi Israel. Lebih jauh lagi, rencana tersebut telah mendapat kecaman dari publik dan  para pemimpin Palestina, serta komunitas global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement