Kamis 02 Jul 2020 04:55 WIB

ISIS Hancurkan Situs Islam, Amerika Serikat Lindungi?

Amerika Serikat berada di lokasi saat terjadi penghancuran situs Islam bersejarah.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Amerika Serikat berada di lokasi saat terjadi penghancuran situs Islam bersejarah. Patung Saddam diruntuhkan di Baghdad pada 2003
Foto: Jarome Delay/ AP
Amerika Serikat berada di lokasi saat terjadi penghancuran situs Islam bersejarah. Patung Saddam diruntuhkan di Baghdad pada 2003

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Artikel yang ditulis Raymond Stock di Middle East Forum menyoroti tentang banyaknya situs budaya yang dirusak oleh kelompok Negara Islam (ISIS) dalam perang dan Amerika Serikat yang disebut justru melindungi situs budaya. Raymond Stock sendiri merupakan anggota penulis Middle East Forum dan pengajar Bahasa Arab di Louisiana State University.  

Dalam artikel tersebut, Raymond menyoroti tentang Amerika Serikat yang kerap melindungi situs budaya saat perang berlangsung. Misalnya pada puncak ketegangan AS-Iran setelah pembunuhan yang ditargetkan terhadap Jenderal Qasem Soleimani pada Januari 2020 lalu. 

Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat itu menyatakan, bahwa jika terjadi serangan lebih lanjut oleh Teheran, ia telah memilih 52 target sebagai balasan Amerika Serikat, yang di antaranya adalah situs budaya.

Pernyataan Trump tersebut lantas disambut oleh kemarahan publik dan penolakan oleh pejabat seniornya sendiri. Tiga hari kemudian, Trump mundur dari rencana penyerangan yang menargetkan situs budaya itu. Ia menekankan, bahwa penargetan situs budaya adalah ilegal dan ia ingin mematuhi hukum. 

"Kelompok Islami dan barbar lainnya menyerang situs budaya, sedangkan orang Amerika tidak. Sebaliknya, AS memiliki tradisi bertindak untuk melindungi situs budaya selama masa perang," demikian tulisan Raymond Stock dalam artikelnya di Middle East Forum, dilansir pada Rabu (1/7). 

Dia menjabarkan soal sikap Amerika dalam Perang Dunia II, di mana Presiden Franklin Roosevelt secara pribadi mengizinkan pembentukan unit militer khusus, yang kemudian dijuluki Monuments Men. Unit tersebut bertugas untuk melindungi situs budaya utama dan karya seni Eropa yang dijarah Nazi, termasuk yang dimiliki negara-negara Axis.

 

Upaya militer AS untuk melindungi situs budaya di zona perang itu dikatakan melampaui kewajibannya untuk tidak melukai mereka yang berada di bawah Konvensi Jenewa, Konvensi Den Haag 1954 untuk Perlindungan kekayaan Budaya dalam Kegiatan Konflik Bersenjata, dan Departemen Pertahanan soal Hukum Perang Manual. 

Aturan dalam konvensi itu menyatakan bahwa properti budaya, area yang mengelilinginya, dan peralatan yang digunakan untuk perlindungannya harus dijaga dan dihormati. 

Dalam Perang Teluk 1991 untuk membebaskan Kuwait dari pendudukan Irak, komandan militer Amerika Serikat bertemu dengan banyak pakar tentang situs arkeologi dan warisan lainnya untuk belajar mengenali dan melindungi tempat-tempat ini. 

Selama bertahun-tahun sesudahnya, pemerintah AS dan lembaga lainnya mengeluarkan upaya serius untuk memulihkan sekitar 2.000 benda penting yang dicuri selama konflik.

Namun, hanya beberapa yang ditemukan pada saat invasi yang dipimpin Amerika Serikat di Irak pada 2003. Amerika Serikat kemudian dikritik lantaran dinilai gagal melindungi perpustakaan dan museum negara, yang beberapa di antaranya dijarah dan bahkan dibakar dalam perang tersebut.

Lembaga Coalition Provisional Authority (CPA) yang dibentuk Amerika Serikat kemudian mulai mengatur upaya tidak hanya melindungi tempat-tempat tersebut, tetapi juga memulihkan dan mengembalikan artefak yang hilang, dicuri, serta rusak. Demikian pula dengan koleksi perpustakaan dan arsipnya.

Menurut Raymond, banyak bantuan asing dari Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, termasuk misalnya di Mesir. Ia mengatakan, bantuan itu ditujukan untuk melestarikan dan memulihkan masjid bersejarah, gereja, dan monumen lain sebagai tidak hanya hubungan masyarakat yang baik, tetapi untuk menyimpan kenangan umum dari umat manusia.

Bahkan, kata Raymond, ada program khusus untuk menyelamatkan artefak-artefak budaya dan sakral yang terancam punah dari komunitas besar Yahudi Irak, yang seringkali dipaksa untuk meninggalkan negara itu, dan properti mereka pada 1940-an dan 1950-an. Pada Februari 2004, dia kembali ke Irak, setelah sebelumnya pernah dia kunjungi beberapa kali pada akhir 1980-an.

Di sana, Raymond melakukan survei pribadi tentang kerusakan yang dilakukan oleh kelompok massa di tengah kejatuhan pemerintah setempat. Mereka merusak perpustakaan, museum dan koleksi manuskrip. 

Menurut Raymond, telah dilaporkan secara luas bahwa hampir semuanya telah dihancurkan. Akan tetapi, penyelidikannya sendiri mengungkapkan bahwa kemungkinan sekitar 15 hingga 30 persen dari museum, perpustakaan, dan koleksi dokumenter lainnya telah hilang, setidaknya di wilayah Baghdad. 

Dalam surveinya, Raymond juga melibatkan wawancara dengan sejumlah pakar Irak dan Amerika, dan banyak kunjungan ke lembaga-lembaga. Dia berkeliling kota tanpa senjata di dalam mobil terbuka ditemani sopir lokal. Menurutnya, sopir itu disediakan kerabatnya yang merupakan pasangan orang buangan Irak yang dulu terkait dengan Saddam Hussein. Saat dia berkunjung ke sana, kerap terjadi baku tembak, penculikan dan ledakan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

photo
Masjid Agung Al Nuri di Kota Tua Mosul, Irak. Masjid tersebut dihancurkan ISIS yang tak rela melihat masjid dikuasai pasukan Irak. - (AP/Felipe Dana)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement