Rabu 01 Jul 2020 22:32 WIB

RUU Pemilu, Pengamat: Kepentingan Pemilih Jarang Disuarakan

Pengamat mengatakan kepetingan pemilih jarang disuarakan dalam RUU Pemilu.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Aditya Perdana
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Aditya Perdana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Aditya Perdana mengatakan, kepentingan pemilih jarang sekali disuarakan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). Hal ini disampaikannya saat menjelaskan usulan DPR terkait perubahan ketentuan district magnitude atau besaran kursi per daerah pemilihan (dapil) lebih kecil.

"Tetapi yang jarang untuk kemudian disuarakan adalah kepentingan pemilih soal itu," ujar Aditya dalam diskusi virtual Menimbang RUU Pemilu ke Depan, Rabu (1/7).

Baca Juga

Beberapa fraksi di Komisi II DPR RI mendorong penambahan dapil sehingga districk magnitude-nya lebih kecil dari sebelumnya. Misalnya saja, dalam Pemilu 2019 lalu, kursi per dapil tiga sampai 10, kini ada permintaan menjadi tiga sampai delapan kursi saja.

Namun, kata Aditya, pertanyaannya kemudian yang harus didiskusikan lebih panjang adalah sistem pemilu yang akan digunakan, apakah didorong sistem pemilu terbuka atau tertutup. Menurutnya, para politikus yang bertarung di pemilu sebelumnya merasa kewalahan dengan kemampuan mereka mendapatkan atau memobilisasi pemilihnya saat pemilu.

 

"Terkait dengan jangkauan mereka, kesanggupan mereka membiayai kampanye, belum lagi perilaku permisifnya pemilih terhadap politik uang dan sebagainya," kata Aditya.

Persoalan district magnitude, lanjut dia, akan menjadi sangat krusial dibahas karena terkait dengan dua hal, yakni peserta pemilu baik calon legislatif maupun partai politik dan pemilih. Kandidat maupun partai pasti akan mencari benefit untuk dirinya sendiri sebagai politikus dari perubahan ketentuan district magnitude ini.

Namun, ia mengkhawatirkan DPR dalam pembahasan RUU Pemilu tidak memperhatikan kepentingan pemilih. Sebab, menurut Aditya, ikatan antara anggota DPR dan pemilih memang sangat lemah hingga saat ini.

"Karena sampai hari ini DPR atau anggota DPR, ikatannya dengan pemilih memang sangat lemah, cenderungnya kan tidak dipedulikan, ini persoalan serius," tutur Aditya.

Ia melanjutkan, apabila memang district magnitude diperkecil, jaminan pemilih akan semakin dekat dengan kandidat harus dipastikan. Ia meminta calon yang sudah terpilih dapat menjaga hubungan representasi dengan pemilihnya.

"Itu problem yang harus dipertimbangkan. Jaminan bahwa hubungan representasi itu akan semakin baik," ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Yaqut Cholil Qoumas mengamini pernyataan Aditya terkait kepentingan pemilih yang tidak disuarakan. Ia mengatakan, perdebatan revisi UU Pemilu tidak membahas nasib pemilih dan hanya mengutamakan nasib politikus.

"Ini saya kira ya menyedihkan, menyedihkan, karena lagi-lagi memang tidak membahas nasib pemilih, tapi hanya nasib peserta saja terutama partai politik dan para politisinya," kata laki-laki yang akarab disapa Gus Yaqut itu.

Ia menambahkan, anggota Komisi II telah bersepakat ada enam hal penting yang akan dibahas dalam RUU Pemilu. Hal itu antara lain keserentakan pemilu, sistem pemilu, konversi suara, parliamentary threshold atau ambang batas parlemen, presidential threshold atau ambang batas presiden, serta district magnitude.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement