Kamis 02 Jul 2020 00:10 WIB

AS Borong Hampir Semua Stok Remdesivir Dunia

Hampir tak ada sisa remdesivir untuk negara lain selama tiga bulan ke depan.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Foto oleh Gilead Sciences menunjukkan remdesivir yang telah disetujui FDA sebagai obat Covid-19.
Foto: Gilead Sciences via AP
Foto oleh Gilead Sciences menunjukkan remdesivir yang telah disetujui FDA sebagai obat Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat membeli hampir semua stok global obat remdesivir yang telah terbukti efektif untuk melawan Covid-19. Hal ini telah diumumkan oleh US Department of Health and Human Services melalui pernyataan resmi.

Dalam pernyataan tersebut diungkapkan bahwa Amerika Serikat membeli stok remdesivir dari produsennya, yaitu Gilead Science hingga September. Badan negara tersebut mengungkapkan, ada lebih dari 500 ribu remdesivir yang telah "diamankan" oleh Amerika Serikat.

Baca Juga

Stok ini berasal dari seluruh produksi remdesivir pada Juli dan 90 persen produksi pada Agustus dan September. Seluruh obat ini akan didistribusikan ke berbagai rumah sakit di Amerika Serikat hingga September mendatang.

Hingga saat ini, tercatat ada lebih dari 2,6 juta kasus konfirmasi Covid-19 di Amerika Serikat. Beberapa negara bagian AS bahkan sudah mencetak rekor baru terkait jumlah kasus Covid-19.

Upaya pemborongan remdesivir oleh Amerika Serikat ini hampir tidak menyisakan stok remdesivir untuk negara-negara lain di dunia selama tiga bulan ke depan. Padahal, organisasi kesehatan dunia (WHO) baru saja menyatakan bahwa pandemi Covid-19 tampak akan semakin memburuk ke depan.

Pada Senin lalu, Gilead Science mematok harga remdesivir sebesar 2.340 dolar AS atau sekitar Rp 33,7 juta per pasien Covid-19 untuk negara-negara kaya. Gilead Science juga sudah setuju untuk memasuk hampir semua stok remdesivirnya untuk Amerika Serikat hingga tiga bulan ke depan.

Remdesivir terbukti dapat menurunkan risiko kematian pada pada pasien yang membutuhkan bantuan oksigen dan ventilator. Sebelumnya, obat ini gagal untuk menjadi terapi Ebola.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement