Kamis 02 Jul 2020 04:31 WIB
Komunis

Meninjau Konsepsi Bung Karno: Kritik Hatta dan Reaksi Aidit

Ketika Hatta mengkritik Sukarno, Aidit Menghardiknya

Hatta dan Soekarno minum kopi bersama.
Foto: gahetna.nl
Hatta dan Soekarno minum kopi bersama.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, Mantan Staf Ahli Wapres Hamzah Hazz dan M Natsir

Pemilihan Umum 1955 yang diselenggarakan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) adalah pemilu paling demokratis dan paling bebas sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Dibandingkan dengan pemilu di masa reformasi pun, pemilu 1955 masih jauh lebih demokratis.

Dari segi peserta, pemilu 1955 tidak membatasi. Siapa saja boleh menjadi peserta. Partai politik,  boleh. Organisasi kemasyarakatan, boleh. Gabungan organisasi, boleh. Bahkan perseorangan pun boleh menjadi peserta pemilu.

Pemilu 1955 punya 15 daerah pemilihan (dapil), tetapi tidak semua peserta pemilu  harus ikut di semua dapil. Saat itu dapil adalah wilayah provinsi. Ada peserta yang ikut di semua dapil, ada yang ikut di 13 dapil, bahkan ada yang ikut hanya di satu dapil saja.

Selaku perancang Undang-undang Pemilihan Umum di masa Kabinet Wilopo-Prawoto, Menteri Dalam Negeri Mr. Mohamad Roem mengatakan: "Pikiran kita waktu itu adalah hak asasi. Tidak saja partai-partai, perorangan juga berhak ikut dalam pemilihan umum. Adapun banyaknya partai-partai, itu juga hak asasi. Tiap-tiap orang boleh mendirikan partai. Melarang hal itu berarti melanggar hak asasi."

Koalisi PNI-Masyumi-NU

Dengan Undang-undang Pemilu yang ultrademokratis, otomatis peserta pemilu membludak.  Jumlah peserta terbanyak di Jawa Tengah, yaitu 45 peserta.

Dari 45 peserta, hanya 28 yang mendapat kursi parlemen. Yang 17, karena tidak dapat kursi,  hilang.

Dari 28 yang mendapat kursi, 4 partai menjadi pengumpul suara terbanyak, yaitu PNI (57), Masyumi (57), NU (45), dan PKI (39). Empat partai besar itu secara keseluruhan meraih 198 dari 260 kursi parlemen atau hampir 80%.

Sisa 20% kursi parlemen direbut oleh 24 partai. PSII dan Partai Kristen masing-masing dapat 8 kursi. Partai Katolik, 6. PSI, 5. Perti dan IPKI masing-masing dapat 4 kursi.

Enam partai masing-masing mendapat 2 kursi. Dua belas partai dan perorangan, masing-masing  mendapat 1 kursi. Partai-partai inilah yang oleh Presiden Sukarno disebut partai gurem.

Begitulah cara rakyat menyeleksi peserta pemilu. Meskipun ada banyak peserta pemilu, ternyata rakyat dengan cerdas mampu memilih empat partai besar. "Jadi, saringan itu dilakukan dari bawah," kenang Roem.

Apabila pemilu dengan model 1955 itu diadakan lagi, niscayalah partai gurem, setengah gurem, ormas, dan perorangan akan berpikir puluhan kali untuk kembali ikut pemilu.

Dengan komposisi hasil pemilu seperti itu, Presiden Sukarno menunjuk Mr. Ali Sastroamidjojo (PNI) menjadi formatur untuk menyusun kabinet. Walaupun jumlah kursi PNI dan Masyumi sama, ternyata Bung Karno memilih PNI. "Itu hak prerogatif Presiden. Kita tidak bisa menyalahkan Sukarno," kata Roem.

Sebagai formatur, Ali membentuk kabinet yang merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU. Kabinet dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjojo (Perdana Menteri) dengan dua Wakil Perdana Menteri: Mr. Mohamad Roem (Masyumi) dan K.H. Idham Chalid (NU).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement