Rabu 01 Jul 2020 12:10 WIB

Senyummu Seperti Sebongkah Gula Batu

Kecantikan Laras tiada banding, hingga mata pria sulit berkedip wajah sukar berpaling

Laras Arunika, senyummu seperti sebongkah gula batu (cerpen)
Foto:

Rabu pukul 08.00, selepas shalat Dhuha, Arjuna mengendarai Vioz Limo tahun 2005 yang dibeli dalam kondisi bekas dua tahun lalu. Arjuna mencicil mobil itu selama dua tahun tanpa proses kredit leasing, tetapi langsung dari seorang pelanggannya yang memiliki showroom. Pikirannya sederhana, membeli mobil agar bisa mengantar ibunya yang sudah memasuki usia renta, berpergian. Satu tahun sebelumnya, Arjuna sudah memiliki mobil bak yang juga dibelinya bekas untuk mengangkut masakannya dari rumah ke warung pecel lelenya.

Sejak berjualan pecel lele dan punya banyak pelanggan, perekonomian Arjuna dan ibunya berangsur membaik. Toko ibunya juga perlahan-lahan membesar. Meski begitu, mereka tetap menjalani hidup sederhana. Berkecukupan.

Ibu Arjuna selalu berpesan konsep harta itu bukan dicari lantas ditumpuk, tetapi dicari lalu dibagi. "Simpan hartamu di langit, agar bisa bisa kembali kamu ambil ketika kamu kembali ke langit. Pakai secukupnya saja ketika kita masih hidup di bumi," pesan ibu kepada Arjuna saat pertama kali membuka warung pecel lele.

Mobil Arjuna berhenti di depan rumah sebuah komplek perumahan. Ba'da Subuh tadi Arjuna sudah menelepon Laras untuk memberi tahu mau datang ke rumahnya. Laras tak memberi jawaban. Sebelum telepon ditutup, Laras hanya berkata, "Aku mau siap-siap melanjutkan ibadah."

Di balik setir mobil, Arjuna kembali menelepon Laras. Arjuna mau memastikan Laras tak menolak kedatangannya. Setidaknya Arjuna sudah siap jika memang ditolak.

Pagi itu rumah Laras yang dindingnya dominan warna putih dan bergaya amerika klasik terlihat sepi. Tak ada tenda, tak ada karangan bunga. Tak ada tanda-tanda atau kesibukan akan ada peristiwa penting hari ini. Tak ada kesibukan akan penerimaan tamu di pagi hari Rabu.

Seseorang berpakaian safari tiba-tiba mengetuk kaca mobil Arjuna. Karyawan keluarga Laras. Arjuna diminta mengikutinya masuk ke dalam rumah.

"Maaf apa betul ini Mas Juna? Mas Juna diminta Non Laras masuk ke dalam rumah. Kasihan ibunya Mas Juna, kata Non Laras. Silakan parkir mobilnya di dalam saja."

Setelah mengikuti pria tersebut dan memarkirkan mobil di garasi. Arjuna lalu menggandeng ibunya masuk ke dalam rumah Laras. Arjuna dan ibunya membawa buah tangan tak biasa, parcel berisi jilbab.

Dari rumah, Arjuna sudah gelisah sebenarnya. Tapi saat itu Arjuna mampu menyembunyikannya. Melamar remaja yang lahir dari keluarga berlimpah harta, bukan perkara main-main. Apalagi mengingat latar belakang keluarga Arjuna yang berbanding terbalik dengan perempuan yang akan dipinangnya. Apakah orang tua Laras bakal merelakan putrinya hidup sederhana bersama pedagang pecel lele?

Karena alasan itu, ragu sempat mampir ke kalbu. Namun tak ringannya perjuangan hidup, membuat Arjuna jauh lebih dewasa dalam bersikap. Arjuna punya keyakinan dan percaya diri menjulang tinggi. Ini bukan nekat, tapi mengambil peluang, batin Arjuna.

Arjuna masuk ke dalam rumah Laras dan berjalan dengan bahasa tubuh percaya diri sebelum duduk di sofa kulit warna cokelat muda. Lantai ruang tamu berukuran lapangan bulu tangkis itu dihampari permadani merah menyala, dan lampu kristal berkilauan tergantung tiga meter di atas kepala Arjuna.

Laras keluar dari dalam ruang tengah. Laras pagi itu mengenakan gaun lengan panjang berwarna jingga. Seperti biasa ia tersenyum. Matanya memancarkan aura menawan, nayanika. Di mata Arjuna saat itu, Laras seperti swastamita, pemandangan indah saat matahari hendak tenggelam.

Kamu itu terbuat dari gulali, taburan cokelat meses, serta sebongkah gula batu. Dan senja adalah penawarnya, Arjuna membatin melihat kecantikan Laras pagi itu.

Laras membawa sendiri nampan berisi air teh ke ruang tamu, tempat Juna dan ibunya menunggu. "Ibu, perkenalkan, saya Laras, teman sekelas Juna." Laras mencium tangan ibu Arjuna sebelum duduk. Takzim.

Arjuna memberikan parcel berisi jilbab kepada Laras yang kemudian menyimpannya di meja kecil samping sofa. Sembilan puluh detik kemudian, datang seorang perempuan bergamis putih. Jilbabnya panjang dan wajahnya nyaris terlihat tanpa riasan. Anggun.

Perempuan itu bersalaman dengan ibu, lalu tersenyum kepada Arjuna sebelum duduk dan memperkenalkan diri. Arjuna sempat diam, karena Arjuna mengenal perempuan tersebut. Arjuna terkejut sesaat, namun segera menguasai keadaan.

Tanpa banyak basa-basi, Arjuna lalu mengutarakan niatnya meminta Laras menjadi istrinya. Penuh keyakinan, dengan kalimat yang tertata sopan dan mengesankan.

"Silakan tanya sendiri ke Laras. Saya sebagai ibu akan memberi restu jika Laras setuju."

Mata Arjuna dan ibu Laras kini tertuju kepada perempuan belia yang wajahnya kini memiliki semburat merah. "Insha Allah, aku menerima kamu. Aku sudah mendengar kisah perjuanganmu dari ibu. Ibu aku yakin juga percaya, kamu laki-laki dengan jiwa penyabar dan bakal menjadi suami yang baik."

Arjuna hampir melonjak kegirangan. Arjuna benar-benar mendapatkan hujan di tengah kemarau. Seperti menemukan oase di tengah gurun pasir. Namun Arjuna juga ingin mendapatkan jawaban dari surat yang diberikan Laras untuknya di sekolah.

"Surat itu kalimat perintah, bukan pengumuman," Laras buka suara menjawab rasa penasaran Arjuna.

Perempuan bergamis putih itu juga mengucapkan hamdalah. Lalu mengusap kepala putrinya, Laras. Perempuan itu, ibu Laras adalah Nyai Sagopi, pengusaha travel umroh sekaligus pelanggan pecel lele Arjuna.

Nyai Sagopi tersenyum, Arjuna sumringah, dan Laras menunduk malu. Namun, ibu Arjuna sedari masuk rumah Laras berubah sikap. Ibu Arjuna terlihat terganggu dengan sebuah foto lukisan keluarga berukuran sekitar 90 cm x 150 cm yang tergantung di dinding ruang tamu. Di foto berbingkai warna emas itu terpajang foto Nyai Sagopi, Laras, dan seorang pria berkumis tipis dengan tubuh terlihat tegap.

"Ibu, sebelumnya maaf. Bolehkah saya bertanya? Pria di foto bersama ibu dan Laras di sana siapa?" Ibu Arjuna bertanya sembari menunjuk dengan ibu jari tangan kanannya ke arah foto berbingkai warna emas. Setelah itu 10 jemari tangan kanan dan kiri Ibu Arjuna ditautkan.

Nyai Sagopi tersenyum. Lagi-lagi tersenyum. Cantik terlihat. Waktu seolah tak mampu merampas kecantikan dari wajah Nyai Sagopi. Laras mewarisi keanggunannya.

"Itu almarhum suami saya. Beliau meninggal saat Laras masih SMP," jawaban Nyai Sagopi membuat tubuh Ibu Arjuna gemetar. Raut wajahnya berubah. Matanya di balik bingkai kaca silinder kini berkilauan.

Ibu Arjuna menarik nafas. Ada aura berbeda yang Arjuna rasakan dari ibunya.

"Juna jika sudah selesai, mari kita pulang, Nak."

"Laras, Ibu Sagopi, maaf sebelumnya, saya dan Juna pamit. Insha Allah, pembicaraan soal lamaran ini nanti kita lanjutkan di lain waktu."

Nyai Sagopi dan Laras heran. Tapi mereka tak bisa menahan Arjuna dan ibunya pamit pulang. Juna ditempatkan di situasi serba salah. Ada apa dengan ibunya. Mengapa tiba-tiba berubah sikap. Tapi dari kecil Arjuna tak pernah membantah permintaan ibunya. Nyai Sagopi dan Laras mengantarkan Arjuna dan ibunya sampai ke pintu depan rumah.

Di dalam mobil, ibu Arjuna tak bisa membendung kesedihan. Bedak di pipinya meluntur. Ibunya memalingkan wajah keluar jendela mobil selama perjalanan pulang. Semua pertanyaan dari Arjuna tak dijawab. Ibu hanya berkata singkat ketika mobil sampai di garasi rumah mereka.

"Kamu dan Laras tak boleh menikah, Nak. Tak Boleh!"

Ibunya turun dari mobil. Berjalan cepat membuka pintu rumah, lalu masuk dengan tergesa. Arjuna masih di balik setir mobil. Arjuna heran. Arjuna mencoba menerka. Arjuna mencari tahu penyebab kesedihan ibunya.

Arjuna memeras ingatan dan pikirannya melompat ke kenangan sekitar 14 tahun lalu. Wajah pria di foto lukisan berbingkai bersama Nyai Sagopi dan Laras samar-samar pernah dilihatnya. Entah di mana. Arjuna masih mencoba mengingatnya.

TENTANG PENULIS

KARTA RAHARJA UCU, saat ini bekerja sebagai wartawan Republika. Pemilik akun Instagram: @kartaraharjaucu dan channel Youtube: Karta Raharja Ucu. Kunjungi blog Karta Raharja Ucu di www.kartaraharjaucu.blogspot.com

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement