Rabu 01 Jul 2020 04:33 WIB

KIai Wahid, Mbak Nuriyah dan Martin Van Bruinessen

Kisah Gus Dur di Australia

Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.
Foto: Google.com
Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fachry Ali MA, Pengamat Sosial Keagamaan

Karena banyak permintaan, cerita Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang publik mengenalnya sebagai Gus Dur, saya tambahkan sedikit melanjutkan ceritanya. Sebenarnya, walau mungkin hanya 4 hari, Martin van Bruinessen turut menginap di rumah saya di Clayton, Melbourne, Australia. Kiai Wahid, tanpa ada Martin, memuji tinggi kesarjanaan ahli asal Belanda ini.

"Martin adalah scholar sejati,’' kata Kiai Wahid. Dia bukan saja menguasai bahasa Arab. Melainkan juga bahasa Kurdi.’ 
Dalam kesempatan itu, saya mengajak keduanya ke bukit Dandenong. Herbert Feith, dengan mobil tuanya, ikut bergabung. Sementara saya membawa Kiai Wahid dan Martin Bruinessen, Herbert Feith menyupiri lainnya.


Sampai di puncak bukit kami berhenti di sebuah restoran. Pemandangan indah dengan Melbourne tampak di bawah tidak sempat dinikmati. Sebab, Herb mempromosikan roti sebuah negara Eropa yang paling enak. Saya melirik kepada Martin Bruinessen. Sebab, bukankah ia juga orang Eropa —sama dengan Herb?

Maka, dengan penuh empati saya bertanya kepada pelayan dengan suara keras:"Do you have Dutch bread?" Serta merta, Martin berteriak sama kerasnya: ‘No!’ Rupanya ia tidak ingin masuk dalam persaingan mana roti paling enak.

Tapi, Kiai Abdurrahman Wahid, awal 1990-an itu agak gemuk. Mbak Siti Nuriyah mewanti-wanti agar sang kiai jangan banyak makan. Hanya, semua kami makan dengan lahap siang itu. Termasuk Kiai Abdurrahman Wahid.


Ketika sarapan pagi, kami semua sarapan di dapur. Mbak Siti Nuriyah tentu menjatah makanan Kiai Abdurrahman Wahid. Tiba-tiba, Martin van Bruinessen buka rahasia. Dengan mengalihkan wajahnya kepada Kiai Abdurrahman Wahid, Martin berkata: "Di luar dia makan banyak sekali."

Spontan Kiai Wahid menyanggah: "Enggak kok! Mbak Nuriyah ‘marah’. Redaksi kalimatnya saya lupa. Tapi, jelas sang Mbak yang kalem ini mengomeli Kiai Abdurrahman Wahid.


Bukan saja sebagai ‘tuan’ rumah, saya adalah yang paling yunior di antara raksasa-raksasa ini. Maka, saya hanya tak berkata apa-apa.
 Hanya saja, dalam hati, saya nikmati juga pemandangan bagaimana Kiai Abdurrahman Wahid hanya bisa diam —ketika diomelin Mbak Siti Nuriyah.


Mahal sekali pemandangan dan pengalaman ini ‘kan? Pernah bayangkan seorang scholar taraf dunia seperti Martin van Bruinessen mengadu kepada Mbak Siti Nuriyah tentang Kiai Wahid yang makan terlalu banyak? Pernah bayangkan Kiai Wahid duduk tenang diomelin Mbak Siti Nuriyah?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement