Selasa 30 Jun 2020 18:00 WIB

Temuan Virus Baru di China Saat Pandemi Covid Belum Berakhir

Peneliti China menemukan virus baru dari flu babi yang berpotensi sebabkan pandemi.

Seorang pekerja mengenakan masker di sebuah peternakan babi Suining, Provinsi Sichuan, China, pada 21 February 2020. Para peneliti China baru-baru ini menemukan tipe baru virus flu babi (G4) yang bisa memicu pandemi.
Foto: EPA/Zhong Min
Seorang pekerja mengenakan masker di sebuah peternakan babi Suining, Provinsi Sichuan, China, pada 21 February 2020. Para peneliti China baru-baru ini menemukan tipe baru virus flu babi (G4) yang bisa memicu pandemi.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Puti Almas, Rizky Jaramaya, Anadolu Agency

Sejumlah peneliti di China menemukan virus jenis baru dari flu babi yang dapat menginfeksi manusia. Bahkan, virus baru ini disebut berpotensi menyebabkan pandemi di masa depan, bila tidak dicegah dan ditangani dengan baik.

Baca Juga

Menurut laporan pada Senin (29/6), peneliti menyebut jenis baru flu babi sebagai G4. Secara genetik, ini adalah virus yang diturunkan dari flu babi atau dikenal sebagai H1N1 dan sempat menjadi pandemi pada 2009.

Dilansir CNN, G4 menunjukkan semua ciri penting dari kandidat virus yang bisa menjadi pandemi. Para peneliti menemukan virus selama program pengawasan terhadap babi dilakukan dari 2011 hingga 2018, di mana mereka mengumpulkan lebih dari 30 ribu sampel swab hidung hewan tersebut dari 10 provinsi di China.

 

Dari sampel ini, para peneliti mengidentifikasi 179 virus influenza babi. Tetapi, tidak semuanya menimbulkan kekhawatiran. Beberapa hanya muncul satu tahun dari tujuh program, atau akhirnya menurun ke level yang tidak mengancam.

Tetapi, virus G4 terus muncul pada babi, tahun demi tahun dan bahkan menunjukkan peningkatan tajam pada populasi babi setelah 2016. Tes lebih lanjut menunjukkan bahwa G4 dapat menginfeksi manusia dengan mengikat sel dan reseptor dan dapat bereplikasi dengan cepat di dalam sel saluran napas.

Meskipun G4 memiliki gen H1N1, orang yang telah menerima vaksin flu musiman tidak akan memiliki kekebalan. G4 tampaknya telah menginfeksi manusia di Cina, seperti di provinsi Hebei dan Shandong, kedua tempat dengan jumlah babi yang tinggi, di mana lebih dari 10 persen orang-orang bekerja di peternakan babi dan 4,4 persen dari populasi umum diuji positif terinfeksi virus dalam survei dari 2016 hingga 2018.

Belum ada bukti bahwa G4 dapat menyebar dari manusia ke manusia (human to human tranmission). Namun, para peneliti memperingatkan bahwa virus ini meningkat diantara populasi babi dan menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan manusia.

“Penularan  virus dari babi ke manusia dapat menyebabkan infeksi parah dan bahkan kematian,” tulis penelitian itu, sambil menyerukan pengawasan yang lebih kuat dan pengendalian penyebaran virus.

Pandemi flu babi pada 2009 tercatat menewaskan sekitar 151.700 hingga 575.400 orang di seluruh dunia. Setelahnya, pihak berwenang dan ilmuwan meningkatkan pengawasan populasi babi untuk mengawasi virus dengan potensi pandemi.

Flu babi terjadi pada orang yang melakukan kontak dengan babi yang terinfeksi. Gejalanya mirip dengan influenza, seperti demam, lesu, kurang nafsu makan, batuk, pilek, sakit tenggorokan, mual, muntah dan diare.

Setelah 2009, virus H1N1 pada manusia menyebar kembali ke babi di seluruh dunia dan gen bercampur menjadi kombinasi baru. Hal inilah yang kemudian menciptakan virus baru seperti G4.

"Sangat mengkhawatirkan bahwa infeksi manusia pada virus G4 akan semakin meningkatkan adaptasi manusia dan meningkatkan risiko pandemi," kata para penulis penelitian tersebut, yang berbasis di beberapa lembaga Cina termasuk diantaranya adalah Shandong Agricultural University dan the Chinese National Influenza Center.

Untuk mengurangi risiko ini terjadi, petani dan otoritas China perlu mengendalikan penyebaran virus di antara babi. Tim peneliti juga meminta pengawasan menyeluruh pada orang-orang yang bekerja dengan hewan-hewan tersebut.

Peringatan WHO

Diumumkannya temuan virus baru oleh peneliti China menjadi peringatan bagi dunia saat pandemi Covid-19 belum berakhir. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (30/6) bahkan memperingatkan kemungkinan hal buruk masih bisa terjadi.

Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, semua negara harus dapat mengatasi pandemi atau dapat menghadapi hal yang lebih buruk.

"Virus masih memiliki banyak ruang untuk bergerak. Kita semua ingin ini berakhir. Kita semua ingin melanjutkan hidup kita. Tetapi kenyataannya yang sulit adalah, ini bahkan belum dekat untuk berakhir," ujar Ghebreyesus.

Selama enam bulan, WHO dan mitranya telah bekerja keras untuk mendukung semua negara dalam menghadapi pandemi Covid-19. Ghebreyesus mengatakan, walaupun banyak negara telah membuat kemajuan secara global, pandemi virus corona menyebar semakin cepat.

Oleh karena itu, dia meminta setiap negara harus fokus untuk menyelamatkan kehidupan warganya. Termasuk memberdayakan masyarakat untuk patuh kepada protokol kesehatan sehingga dapat melindungi diri mereka sendiri dari infeksi virus corona.

"Menjaga jarak secara fisik, menjaga kebersihan tangan, menutup mulut ketika batuk, memakai masker, tetap berada di dalam rumah, dan hanya membagikan informasi dari sumber yang dapat dipercaya," kata Ghebreyesus.

WHO pun akan mengutus tim ke China untuk menyelidiki asal-usul virus corona baru penyebab Covid-19. Beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia telah cukup vokal menyerukan tindakan tersebut.

“Kita bisa melawan virus dengan lebih baik ketika kita tahu segalanya tentang virus, termasuk bagaimana virus itu bermula. Kami akan mengirim tim pekan depan ke China untuk mempersiapkan itu,” kata Ghebreyesus, dikutip Reuters, Senin (29/6).

Dia tak memberi keterangan lebih terperinci terkait hal itu, termasuk tentang respons China. Beijing diketahui telah menolak adanya penyelidikan yang bertujuan menyudutkan atau menyalahkannya atas terjadinya pandemi Covid-19.

Pada akhir April lalu Wakil Menteri Luar Negeri Cina Le Yucheng menegaskan bahwa virus corona baru penyebab Covid-19 bukan berasal dari laboratorium di Wuhan. Terkait hal ini, dia meminta publik mendengarkan keterangan para ahli dan tak menggunakan teori konspirasi.

“Sesuatu yang aneh sekarang adalah bahwa beberapa tokoh politik, yang diduga ekonom dan intelijen, memberikan laporan sensasional soal sumber Covid-19. Secara luas dikonfirmasi oleh para ahli bahwa Covid-19 bukan dari laboratorium,” ujar Le saat diwawancara NBC yang trasnkripnya diterbitkan Kementerian Luar Negeri Cina pada 30 April.

Jumlah kematian akibat virus corona secara global telah melampaui 500 ribu. Sementara, jumlah kasus yang dikonfirmasi saat ini mencapai lebih dari 10 juta.

Amerika Latin kini menjadi episentrum penyebaran pandemi virus korona. Brasil, Peru, Chile, dan Meksiko adalah salah satu negara yang paling terkena dampak pandemi di dunia. Direktur Kedaruratan WHO, Mike Ryan mendorong semua negara saling bekerja sama untuk mengatasi pandemi virus corona.

"Kami memiliki banyak komunitas dengan sistem kesehatan yang buruk dan kondisi kehidupan yang buruk yang perlu kami dukung. Dan kami perlu fokus pada hal itu," kata Ryan.

photo
Virus-virus yang menghebohkan dunia. - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement