Selasa 30 Jun 2020 10:22 WIB

Kemenhub Wacanakan Pajak Sepeda, Seperti Zaman Kolonial Saja

Di zaman kolonial pemilik sepeda diwajibkan membayar pajak peneng.

Sejumlah penggiat hobi sepeda ontel lawas melintas di Jalan Pandanaran dalam acara
Foto:

Jika saat ini Anda melihat banyak orang membawa sepedanya naik MRT, KRL, hingga Bus Transjakarta, pemandangan serupa juga terjadi di zaman kolonial. Warga Belanda dan Eropa lainnya yang bekerja di Jakarta Kota, juga naik sepeda di samping trem, kereta yang jalurnya di tengah jalan. Mereka umumnya memilih sepeda merk Batavus atau Fongers yang doortrap) injak maju dengan rem kaki. Sementara orang pribumi yang berduit menyukai sepeda merk Raleigh yang aksesoris, dan jika dienjot berbunyi ‘tik – tik – tik -.

Sepeda Raleigh berharga mahal. Orang yang mengendarai sepeda ini akan memakai capio (semacam topi koboi). Selain itu, mereka juga akan menggunakan baju sadaria dan arloji saku menandai ia orang berdoku.

Di lengannya terdapat akar bahar yang dipercaya sebagai obat anti rematik. Sedangkan di jarinya terdapat serentetan cincin batu, seperti blue safier, kecubung dan akik yang katanya punya khasiat-khasiat. Yang pasti, setelah makan pemakainya akan menjadi kenyang.

Sepeda pertama muncul di Batavia pada tahun 1890. Waktu itu sepeda merek ‘Rover’ yang harganya 500 gulden menjadi kebanggaan luar biasa bagi para pemiliknya. Status sosial seolah-olah meningkat jika memiliki sepeda tersebut. Persis seperti saat ini jika seseorang menaiki sepeda merek Brompton yang harganya setara dengan ongkos naik haji.

Di masa kolonial, naik sepeda pada malam hari harus memakai lentera. Bersepeda tanpa lampu pada malam hari tidak akan akan kena tilang. Dendanya lima gulden suatu jumlah bisa makan sederhana selama sebulan.

Istilah ‘damai’ antara polisi dan pengendala tidak terdapat kala itu. Saking banyaknya orang bersepeda, di kampung-kampung terdapat bengkel sepeda yang kini digantikan bengkel motor.

Nah, jika saat ini pedagang sepeda di Jakarta sudah menjamur, pedagang sepeda pertama di Jakarta adalah seorang warga Belanda bernama Gruyter yang tokonya terletak di Gambir. Di tempat ini dia memiliki sebidang tanah lapang untuk tempat balapan sepeda bagi para pelanggannya.

Namun, orang yang datang ke toko dan bengkelnya hanyalah orang Belanda dan Cina. Pada tahun 1937 di Batavia tercatat 70 ribu sepeda atau satu sepeda untuk delapan penduduk. Penduduk baru sekitar 600 ribu jiwa. Belanda pun pernah membuka jalur khusus untuk sepeda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement