Senin 29 Jun 2020 10:04 WIB

Kerjasama Gelap Soeharto dengan Israel dan Dialog Gus Dur

Pemerintahan Soeharto menjalin kerjasama gelap dengan Israel.

Presiden Soeharto sedang mencukur rambut di rumahnya.
Foto: Peprustakaan nasional
Presiden Soeharto sedang mencukur rambut di rumahnya.

REPUBLIKA.CO.ID, *Oleh Munawir Aziz 

Pada sebuah hari di pertengahan Oktober 1993, seorang pejabat penting dari Israel datang ke Jakarta. Pejabat itu ingin berdiskusi secara rahasia dengan Presiden Soeharto, sekaligus membangun kontak dengan tokoh-tokoh Muslim berpengaruh.   

Baca Juga

Ya, 16 Oktober 1993, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin datang ke Jakarta, setelah sebelumnya melakukan lawatan diplomatik ke China dan Singapura. Yitzhak Rabin tidak main-main, dia mengemban misi penting pemerintah Israel, untuk melangungkan lobi khusus dengan pemerintah Indonesia.  

Sekitar satu dekade sebelumnya, pada awal 1980-an, pemerintah Indonesia membeli lebih dari 30 pesawat skyhawk dari Israel. Proses pembelian ini dilangsungkan dalam operasi rahasia bernama operasi Alpha. 

Operasi ini merupakan operasi intelijen, karena saat itu Indonesia butuh pesawat canggih dari Israel, dengan teknologi terbaru. Sementara pemerintah negeri ini tidak punya hubungan diplomatik resmi dengan Israel.   

Setelah beberapa dekade, operasi Alpha baru terkuak. Kerjasama militer, teknologi, dan intelijen yang menggunakan dana besar ini baru terbuka ke publik setelah lama tertutup kabut gelap. Letjen TNI (Purnawirawan) Rais Abin, mantan panglima pasukan perdamaian PBB di Timur Tengah, mengungkap ke publik.  

"Secara politik aneh kalau kita jual beli dengan Israel. Sementara, pesawat yang dibutuhkan di situ, adanya di Israel. Itu kerjasama intelijen yang bagus, sampai (hampir) semua orang tidak tahu," jelas Rais Abin (BBC, 12 Desember 2017).  

Operasi Alpha lama terpendam dalam catatan sejarah. Sampai kemudian, buku otobiografi berjudul Menari di Angkasa terbit. Buku itu, karya Djoko Poerwoko, seorang pilot TNI Angkatan Udara yang mengikuti pelatihan di Israel. 

Latar belakang kerjasama intelijen dan perdangan yang berlangsung diam-diam menjadikan hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel semacam teman tapi mesra. Indonesia tidak punya hubungan diplomatik resmi dengan Israel, tapi kerjasama intelijen dan perdangan, nilai uangnya 400-500 juta dolar Amerika Serikat.  

Nah, pada sisi itulah misi diplomatik Yitzhak Rabin menemukan konteksnya. Hal lainnya, Rabin ingin Indonesia lebih berperan dalam diplomasi Timur Tengah, khususnya mencairkan ketegangan Israel-Palestina. Indonesia, sebagai aktor gerakan non-blok masih dianggap punya peluang besar untuk mempengaruhi proses perdamaian negara-negara kawasan Timur Tengah.  

"My main goal is that the organization of non-aligned states will support the process and the agreements reached and that this will allow wide support in that part of the world, among those states that oppose or have reservations about the agreements," demikian pernyataan Yitzhak Rabin, sebagaimana diarsip UPI Archives (15 Oktober 1993).  

Mengenai kunjungan Yitzhak Rabin ke Jakarta, motif-motif diplomasi interasional menjadi penting. Kunjungan ini menunjukkan pragmatisme Soeharto dalam kebijakan luar negerinya.

Padahal, sebelumnya, opini yang berkembang luas betapa pertemuan itu mustahil, karena Soeharto tidak menganggap penting isu Islam atau agama, dalam kebijakan luar negeri. Satu bulan setelah pertemuan dengan Rabin, Soeharto berkunjung ke Iran untuk mengimbangi perdebatan di ruang publik (Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy, hal 77).  

Menanggapi pertemuan rahasia Yitzhak Rabin dengan Soeharto, Gus Dur berkomentar via jaringan jurnalis internasional. Komentar Gus Dur menjadi oase dari riuhnya perdebatan terkait relasi Soeharto dan pemerintah Israel, sesuatu yang menjadi sensitif, bahkan hingga sekarang.  

"Tidak ada demonstrasi. Di kampung-kampung, masjid-masjid, semuanya tenang-tenang saja. Memang ada yang marah-marah, tapi kita lihatlah reaksi masyarakat selanjutnya," demikian pernyataan Gus Dur kepada jurnalis BBC di Indonesia (18/10/1993).  

photo
K.H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur - (dok.Istimewa)

Setahun kemudian, Gus Dur diundang Yitzhak Rabin. Dalam kunjungan itu, Gus Dur menjadi saksi atas deklarasi perdamaian Israel-Yordania. Djohan Effendy, intelektual Muslim, datang bersama Gus Dur untuk menjadi saksi sejarah itu.   

Setelah kunjungan Rabin, perdebatan di kalangan Islam memanas. Pemerintah Soeharto dianggap menjalin kerjasama dengan Israel. Jenderal Feisal Tanjung, menampik isu bahwa ada kerjasama antara militer Indonesia dan Israel. Meski demikian, transaksi ekonomi-perdagangan kedua negara naik drastis.   

Pada awal 1991, Indonesia mengekspor komoditas sejumlah 31 ribu dolar Amerika Serikat, yang jumlahnya melonjak pada tahun-tahun berikutnya sejumlah 1.7 juta dolar Amerika Serikat. Pada Oktober 1994, sejumlah rombongan besar pengusaha-pengusaha dari Israel datang ke Jakarta (Retnowati Abdulgani-Knapp, Soeharto the Life and Legacy of Indonesia's Second President, hal 158). 

Yitzhak Rabin

photo
Ketua Organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin mencatat sejarah dengan berjabat tangan usai menandatangani perjanjian damai yang ditengahi Presiden AS Bill Clinton pada 13 September 1993. - (Reuters/Gary Hershorn)

Pada 2009, untuk menfasilitasi inisiasi kerjasama-kerjasama internasional antara Indonesia dan Israel, dibentuklah Israel-Indonesia Chamber of Commerce, yang secara resmi dibentuk di Tel Aviv. Lembaga ini dibawah inisiasi the Israel-Asia Chamber of Commerce, yang bertujuan meningkatkan kerjasama ekonomi antara Indonesia dan Israel, meski tidak ada relasi diplomatik resmi.  

Kunjungan Yitzhak Rabin ke Indonesia, sekaligus undangan pemerintah Israel terhadap beberapa tokoh Muslim pada 1994, telah membuka jalan Gus Dur terlibat dalam diskursus dan upaya perdamaian Israel-Paletina. Pada 1997, di tengah kecaman dari organisasi-organisasi Muslim, Gus Dur datang ke Israel untuk kesekian kalinya.  

Pengalaman ketika belajar di Kairo Mesir, dan Baghdad Irak, serta intensitas dialog Gus Dur dengan beberapa tokoh politik dan pemuka agama Israel, merupakan latar belakang kiprah Kiai Abdurrahman Wahid dalam isu Israel-Palestina.   

Yitzak Rabin seorang pemimpin visioner dari Israel. Dia menjadi perdana menteri Israel dalam dua periode, yakni 1974-1977 dan 1992 hingga  1995. Sayangnya, Rabin meninggal secara dramatis. Dia terbunuh pada 4 November 1995, dan jenazahnya dimakamkan di Helkat Gedolei Ha'Uma.

 

*Sekretaris Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Inggris 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement