Senin 29 Jun 2020 07:26 WIB

Perhimpunan Alumni Jerman Diskusikan Kampus Merdeka

Kurikulum terkait Kampus Merdeka harus disusun bersama seluruh pemangku kepentingan.

Suasana Webinar
Foto: Dok PAJ
Suasana Webinar

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kampus Merdeka digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim, dengan empat  kebijakan utama.  Yaitu,  akselerasi pembukaan program studi baru, mengenai sistem akreditasi yang bergerak ke arah volunteer, fasilitasi perguruan tinggi yang statusnya masih baru untuk mencapai status PTN BH badan hukum, dan terakhir adalah kemerdekaan SKS di kampus untuk memberikan hak belajar tiga  semester di luar program studi mahasiswa tersebut. 

Kebijakan yang terakhir ini perlu penjabaran lebih lanjut terutama mengenai relasi industri dan akademia serta struktur sosial masyarakat di Indonesia yang masih cenderung belum melihat keterpaduan antara ilmu-ilmu sosial dan keteknikan. Demikian antara lain isi diskusi dalam Webinar "Kampus Merdeka pada Pendidikan Umum dan Vokasional: Studi Perbandingan Indonesia dan Jerman – Swiss" yang diadakan oleh Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ) Bandung-Jawa Barat, Kamis (25/6).

Webinar dihadiri oleh peserta dari Bandung, Jakarta, Purwakarta, Bogor, Yogyakarta, Bantaeng, Mataram, hingga Kalimantan Utara.

Webinar  menghadirkan empat  nara sumber dari berbagai Perguruan Tinggi. Mereka adalah  Liona Nanang Supriatna (Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) sebagai narasumber pertama mengetengahkan "Aspek Hukum Kampus Merdeka". Kemudian dilanjutkan oleh Edi Wahyu Sri Mulyono (Dosen Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung dan Senior Program Officer S4C/Swiss Contact di Indonesia) yang memaparkan mengenai: "Pendidikan Vokasi di Jerman dan Indonesia".

Dilanjutkan lagi oleh Asep Mulyana (Ketua Pusat Pengkajian Inkubasi Bisnis (PPIB) LMFE Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran) yang bercerita tentang "Kampus Merdeka di Jerman", dan terakhir, Ketua PAJ Bandung, Yuliadi Erdani (Ketua Program Studi D4 Teknologi Rekayasa Otomasi Politeknik Manufaktur Negeri Bandung). Ia  menjelaskan tentang "Merdeka Kuliah pada Pendidikan Vokasi” termasuk di dalamnya pengalaman studi di Swiss dan Jerman.

photo
Salah satu materi Webinar Kampus Merdeka pada Pendidikan Umum dan Vokasional: Studi Perbandingan Indonesia dan Jerman-Swiss.  (Foto: Dok PAJ)

Para nara sumber sama-sama menyambut konsep Kampus Merdeka terutama dari sisi fleksibilitas mata kuliah atau pengalaman kerja yang dapat diperoleh mahasiswa. Polman misalnya, menurut Yuliadi sudah sejak lama terbiasa bermitra dengan industri, malah industri selalu mencari mahasiswa Polman untuk magang atau kerja praktik, termasuk mencari lulusannya. “Ini memacu Polman untuk lebih baik lagi menyiapkan mahasiswa atau lulusan yang diminta oleh industri,” kata Yuliadi dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Liona menyambut baik apabila misalnya universitas di Bandung dan di Jayapura dapat saling mengirim mahasiswa untuk saling belajar dan diakui SKS-nya.  “Karena,  yang demikian itu akan memacu pertukaran ide dan budaya,” ujarnya. Akan tetapi Liona mengingatkan bahwa jangan sampai tren  kebebasan itu akhirnya menyingkirkan ilmu sosial.

Hal yang hampir mirip diungkapkan oleh Edi yang mengutip perkataan sosiolog dan ekonom kondang Jerman Max Weber “Wissenschaft als Beruf“ yang sudah menjadi kultur di Jerman. Ini melahirkan penghargaan terhadap masing-masing profesi. 

Menurut Edi, Ilmu Sosial harusnya hadir untuk menata kebanggaan berprofesi ini, tidak cukup hanya ilmu Teknik. Asep meningatkan agar peran sosiologi dalam membentuk masyarakat termasuk industri diperkuat. 

Turut hadir juga Boedi Darma Sidi (Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di Republik Federal Jerman 1999-2003 dan Dosen ITB) dan memberikan komentar yang sangat menggugah. “Berkaca dengan apa yang berjalan di Jerman, penting agar kurikulum terkait Kampus Merdeka ini harus disusun bersama seluruh pemangku kepentingan, agar tercipta interaksi yang baik,” kata Boedi Darma.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement