Sabtu 27 Jun 2020 12:03 WIB

Pilkada, Pemerintah akan Terbitkan SKB untuk Lindungi ASN

SKB akan melindungi para ASN dari pengaruh pejawat kepala daerah yang akan maju.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Aparatur Sipil Negara (ASN) (Ilustrasi). Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sedang menyusun surat keputusan bersama (SKB) antarkementerian dan lembaga untuk menjaga netralitas ASN di Pilkada 2020.
Foto: Republika
Aparatur Sipil Negara (ASN) (Ilustrasi). Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sedang menyusun surat keputusan bersama (SKB) antarkementerian dan lembaga untuk menjaga netralitas ASN di Pilkada 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sedang menyusun surat keputusan bersama (SKB) antarkementerian dan lembaga untuk menjaga netralitas ASN di Pilkada 2020. SKB akan melindungi para ASN dari pengaruh pejawat kepala daerah yang akan maju dalam Pilkada 2020. 

Direktur Fasilitasi Kepala Daerah, DPRD, dan Hubungan Antarlembaga Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Budi Santoso, menjelaskan perlindungan itu agar pegawai-pegawai di pemerintahan daerah maupun kementerian/lembaga tidak terkontaminasi pergerakan politik peserta pilkada baik kepala daerah, partai, serta tim sukses. "Kita semua memahami bahwa teman-teman ASN di Kabupaten/Kota yang incumbentnya maju kelihatannya perlu ada perlindungan khusus. Bagaimana dia tidak terkontaminasi pergerakan politik dari incumbent," kata Budi dalam acara virtual sosialisasi Pilkada 2020, Jumat (26/6).

Baca Juga

Selain Kemendagri, SKB akan melibatkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) serta Badan Kepegawaian Negara (BKN). "Netralitas ASN, ini kita lagi siapkan ada SKB antara Menpan-RB, Mendagri, dan BKN untuk bagaimana netralitas ASN ini," ujar dia.

Di sisi lain, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah menerima laporan atas dugaan politisasi bantuan sosial (bansos) untuk penanganan dampak pandemi Covid-19 oleh kepala daerah. Dugaan politisasi bansos oleh kepala daerah yang berpotensi mencalonkan diri di Pilkada 2020 terjadi di 12 provinsi dan 23 kabupaten/kota. 

"Terdapat pembagian bansos dan diduga dipolitisasi dengan menempelkan gambar kepala daerah yang berpotensi menjadi petahana," ujar Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja saat dikonfirmasi Republika, Jumat.

Ia menyebutkan, daerah-daerah yang terdapat dugaan politisasi bansos antara lain Provinsi Bengkulu dan Kota Bengkulu; Indragiri dan Pelalawan, Riau; Ogan Ilir, Sumatera Selatan; Jambi, Lampung Timur, Pesawaran, dan Way Kanan, Lampung; Lampung Selatan; Kabupaten Pandeglang, Banten; Pangandaran dan Cianjur, Jawa Barat; Sumenep dan Jember, Jawa Timur; Klaten, Semarang, dan Purbalingga, Jawa Tengah; Gorontalo; serta Keerom (Papua).

"Dan beberapa dikirim ke Mendagri. Ada dua di NTB yang rekomendasi ke Kemendagri, Lombok Utara dan Sumbawa," lanjut Bagja.

Namun, kata Bagja, Bawaslu tidak bisa melakukan penindakan pelanggaran terhadap dugaan politisasi bansos tersebut. Pasalnya, saat ini belum ada landasan hukum yang mengatur Bawaslu dapat menindaklanjuti dugaan pelanggaran oleh kepala daerah tersebut sebelum adanya penetapan calon.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur larangan terhadap gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon (paslon). Akan tetapi, UU Pilkada hanya mengatur larangan dan sanksinya apabila paslon sudah ditetapkan KPU.

Bagja meminta dugaan pelanggaran politisasi bansos diselesaikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini melarang kepala daerah memanfaatkan program untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, yang juga bisa ditafsirkan kepentingan dalam kontestasi pilkada.

Untuk itu, ia meminta ketegasan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk menerapkan ketentuan UU Pemerintahan Daerah. Mendagri tak cukup hanya sekadar mengeluarkan imbauan kepada kepala daerah.

Bagja mengatakan, kondisi pandemi Covid-19 tidak menurunkan tingginya jumlah pelanggaran Pilkada 2020. Beberapa catatan dugaan pelanggaran hingga 11 Mei 2020, terdapat 552 temuan, 108 laporan, dan 132 bukan pelanggaran.

Jenis ratusan pelanggaran itu antara lain, pelanggaran administrasi ada 157, kode etik ada 24, pelanggaran pidana ada dua, dan 348 pelanggaran hukum lainnya seperti pelanggaran netralitas ASN. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement