Sabtu 27 Jun 2020 06:42 WIB

Pahala Menghisab Diri

Orang yang menghisab diri adalah orang yang takut terhadap pengadilan Allah SWT.

Sejumlah jemaah saat dzikir dalam rangka muhasabah akhir tahun pada gelaran Festival Republik dan Dzikir Nasional 2019 di Masjid Agung At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (1/1).
Foto: Thoudy Badai_Republika
Sejumlah jemaah saat dzikir dalam rangka muhasabah akhir tahun pada gelaran Festival Republik dan Dzikir Nasional 2019 di Masjid Agung At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (1/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Orang cerdas adalah orang menghisab dirinya. Secara matematis,  menghisab diri itu begitu mudah. Setiap hari tinggal dibuat dua buah pertanyaan. Pertama, perbuatan baik apa yang hari ini aku lakukan? Kedua, perbuatan salah apa yang hari ini aku lakukan? Kalkulasilah kedua perbuatan tersebut, maka hasilnya dengan mudah dapat diketahui.

Nabi SAW mewanti-wanti, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab oleh Allah SWT kelak. Bersiaplah menghadapi hari perhitungan yang amat dahsyat. Sesungguhnya, hisab pada hari kiamat akan terasa ringan bagi orang yang selalu menghisab dirinya ketika di dunia.” (HR. Turmudzi). Inilah pahala pertama menghisab diri yang berdimensi eksatologi.

Sejatinya menghisab diri itu berkelindan dengan upaya mengelola hati dan mengendalikan diri. Nabi SAW bersabda, “Orang yang paling bijak adalah orang yang selalu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Turmudzi). Menghisab diri dengan demikian menjadi pilihan paling rasional untuk menghadapi kematian.

 

Artinya buah perbuatan baik dan akibat perbuatan buruk manusia di dunia tak ada yang luput dari perhitungan Allah SWT. Secara teologis, inilah titah Allah SWT, “Semua perbuatan yang telah dilakukan manusia tercatat dalam lembaran catatan di Lauh Mahfudz.  Perbuatan kecil maupun besar, semuanya tertulis dalam lembaran-lembaran yang rapi.” (QS. al-Qamar/54: 52-53).

Di dalam kitab Tafsir Surah Yasin, Syaikh Hamami Zadah menuliskan tentang lima pertanyaan yang kelak ditanyakan pada hari kiamat. Pertama, untuk hal apa umurmu dihabiskan? Kedua, untuk hal apa masa mudamu digunakan? Ketiga, dari mana kamu mendapatkan harta? Keempat, untuk apa harta itu dibelanjakan? Kelima, apa yang kamu perbuat dengan ilmumu?

Nabi SAW menjelaskan, “Hal pertama yang akan ditanyakan kepada seorang hamba pada hari kiamat adalah soal kenikmatan. Hamba itu ditanya, “Bukankah Kami telah membuat dirimu sehat? Bukankah Kami telah membuat dirimu segar dengan air dingin?” (HR. Turmudzi). Artinya, dengan kenikmatan ini seharusnya manusia melakukan kebaikan dan perbaikan di muka bumi.

Sejatinya orang yang menghisab diri adalah orang yang takut terhadap pengadilan Allah SWT yang tak bisa dibantah. Allah SWT berfirman, “Dan adapun orang yang takut berdiri di hadapan Allah kelak dan menahan hawa nafsunya maka surga adalah tempat tinggalnya.” (QS. al-Nazi’at/79: 40-41). Inilah pahala berikutnya orang yang menghisab diri.

Di dalam ayat lain, orang dengan kategori ini tidak hanya mendapatkan satu surga, namun dua, tiga bahkan empat surga. Allah SWT menjanjikan, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya, ada dua surge.” (QS. al-Rahman/55: 46). Lalu Allah SWT menambahkan dua lagi, “Dan selain dari dua surga itu, ada dua surga lagi” (QS. al-Rahman/55: 62). 

Menurut Imam al-Syibli, seperti dikutip Syaikh Hamami Zadah, sejatinya kelak manusia akan dihisab oleh Allah SWT dengan dua pertanyaan saja. Pertama, “Wahai hambaku, bukankah Aku senantiasa bersamamu?” Kedua, “Wahai hambaku, bersama siapakah kamu senantiasa?” Kedua pertanyaan ini begitu menukik dan tajam, sulit bagi kita untuk menjawabnya.

Namun bagi Syaikh Abu Hasan, seperti juga dikutip oleh Syaikh Hamami Zadah, kelak Allah SWT hanya menghisab dengan satu pertanyaan saja, “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah?” (QS. al-Infithar/85: 6).  Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti inilah kita harus menghisab diri.

Menghisab diri tak lain adalah introspeksi diri dan mengoreksi diri. Kalau selama ini kita rajin mengoreksi diri teman kita, maka saatnya kita lebih rajin mengoreksi diri sendiri. Nabi SAW bersabda, “Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi temannya." (HR. Turmudzi).

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement