Jumat 26 Jun 2020 22:15 WIB

Bosan dengan Pandemi, Orang Bisa Kena Caution Fatigue

Caution fatigue bisa membuat orang meremehkan aturan pencegahan Covid-19.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Reiny Dwinanda
Warga berolahraga saat kegiatan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Sarinah, Jakarta, Ahad (21/6). Pandemi berkepanjangan bisa memicu caution fatigue.
Foto: Prayogi/Republika
Warga berolahraga saat kegiatan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Sarinah, Jakarta, Ahad (21/6). Pandemi berkepanjangan bisa memicu caution fatigue.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 membuat orang-orang di seluruh dunia harus terus-menerus waspada. Warga dunia diharuskan mematuhi tindakan pencegahan yang direkomendasikan untuk melindungi diri terhadap virus corona tipe baru, seperti mengenakan masker dan mempraktikkan jarak sosial.

Di lain sisi, kondisi yang berlangsung selama berbulan-bulan ini telah menimbulkan masalah baru, yakni caution fatigue alias lelah akibat harus terus berhati-hati agar tak tertular Covid-19. Kondisi ini ditandai ketika orang malah melonggarkan kepatuhannya terhadap aturan kesehatan.

Baca Juga

"Di tengah pandemi Covid-19, telah ada gelombang perhatian media untuk membantu orang mematuhi pedoman keselamatan karantina. Saya telah mengamati sebuah fenomena yang disebut caution fatigue, yakni rendahnya motivasi atau energi untuk mengamati informasi keselamatan," ujar Jacqueline Gollan, profesor psikiatri dan ilmu perilaku di Fakultas Kedokteran Northwestern University Feinberg School of Medicine yang menciptakan istilah itu, dilansir Fox News, Jumat (26/6).

Fenomena caution fatigue ini terjadi ketika orang menjadi tidak peka terhadap peringatan atau mengalami kelelahan mental atau fisik karena mematuhi pedoman keselamatan. Mereka meremehkan risiko terkena Covid-19 demi menjalin interaksi sosial, olahraga, atau aktivitas lain di luar ruangan.

 

"Menerapkan perilaku berhati-hati, terutama jika berkepanjangan, bisa menjadi beban dan tampak tidak perlu sehingga orang menjadi rentan terhadap saran untuk melonggarkan aturan keselamatan," ujarnya.

Hal ini bisa berbahaya, terutama karena Covid-19 masih menimbulkan risiko yang sangat nyata. Apalagi, hingga kini belum ada vaksin untuk melindungi atau pengobatan yang efektif terhadap Covid-19.

Terlebih lagi, kasus merebak di seluruh dunia, dengan AS mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada hari Rabu (24/6) dalam kasus harian virus corona tipe baru. Negara bagian Florida, Texas, dan Kalifornia adalah yang paling terpukul.

Pembukaan kembali yang cepat di beberapa negara juga dapat memberikan rasa aman yang keliru kepada sebagian orang. Lebih lanjut, kondisi itu menyebabkan orang letih untuk berhati-hati.

Awalnya, masyarakat mungkin takut terhadap Covid-19. Tetapi, ketika Covid-19 tampak mulai dapat terkendali, orang menjadi lebih percaya diri untuk menghadapi situasi yang mungkin telah membuatnya takut sebelumnya.

"Akibatnya, seiring pandemi berlanjut, beberapa dari kita telah menyesuaikan dan mulai meremehkan ancaman yang sebenarnya, mengabaikan bahaya situasional, dan tidak mengambil risiko Covid-19 dengan serius," tuturnya.

Dr Collin Reiff, psikiater dan asisten profesor klinis di Departemen Psikiatri di NYU Langone Health, berhipotesis bahwa disonansi kognitif mungkin berperan dalam mereka yang menemukan diri mereka memiliki sikap yang lebih longgar terhadap tindakan pencegahan keselamatan yang direkomendasikan

Menurutnya, penyebab lain dari kondisi ini adalah karena banyak orang belum (secara langsung) terkena dampak oleh virus corona. Apalagi, virus memiliki dampak yang lebih langsung pada mereka yang tinggal di kota-kota yang terpukul keras pada awal pandemi.

"Orang-orang bosan dengan Covid-19. Banyak orang di awal pengalaman ini memiliki kelainan penyesuaian karena stres akut. Tetapi sekarang karena stresor telah dihilangkan, kecemasan berkurang, ini jadi berbahaya karena (pandemi) masih sangat hidup dan nyata," ujar Reiff.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement