Jumat 26 Jun 2020 16:19 WIB

Rusia-China Geser Pasar Senjata Amerika Serikat?

Rusia dan China hendak geser pasar senjata Amerika Serikat di Timur Tengah.

Rep: Mabruroh/ Red: Nashih Nashrullah
Rusia dan China hendak geser pasar senjata Amerika Serikat di Timur Tengah. Salah satu senjata Rusia.
Foto: sputnik.
Rusia dan China hendak geser pasar senjata Amerika Serikat di Timur Tengah. Salah satu senjata Rusia.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH— Rusia dan China terus berupaya merebut pasar senjata Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah yang selama ini didominasi Amerika Serikat. 

Mengatasi hal tersebut, Amerika Serikat mengeklaim dengan penjualan senjata bernilai miliaran dolar AS ke Timur Tengah dapat membantu mengurangi pengaruh Rusia dan China di kawasan untuk perangkat keras militer mereka.

Baca Juga

Kepala Komando Sentral Amerika Serikat (CENTCOM), Jenderal Kenneth F McKenzie, mengatakan pada 10 Juni 2020 bahwa penjualan senjata AS ke berbagai negara di Timur Tengah membantu mencegah adanya pasokan senjata dari Rusia dan China. 

AS menyatakan, pihaknya adalah mitra bagi negara-negara di Timur Tengah. "Meyakinkan mitra kami di kawasan itu, bahwa kami akan ada di sana, bahwa kami akan menjadi mitra yang dapat diandalkan," tegas McKenzie, dilansir dari The New Arab, pada Jumat (26/6).

"Kami tidak ingin mereka berpaling ke Rusia, (kami) tidak ingin mereka beralih ke China untuk membeli sistem (perangkat keamanan) itu. Kami juga akan memiliki ukuran kendali atas bagaimana sistem itu digunakan," sambungnya.

Selama ini, Amerika Serikat menjadi pengekspor senjata terbesar di dunia, sebanyak 52 persen ekspor senjata ke Timur Tengah. Pada periode 2014-2018 saja, Arab Saudi banyak mengimpor perangkat keras militer canggih buatan Amerika. 

Sementara Rusia dan China, melakukan penjualan senjata yang jauh lebih sedikit di wilayah tersebut. Tapi Rusia membuat terobosan baru yanh signifikan dalam menjual senjata canggih ke Mesir dan Turki.

Rusia telah menjual armada pesawat tempur MiG-29, helikopter serang Ka-52, dan rudal pertahanan udara S-300 ke rudal pertahanan udara S-400 bekas dan baru dalam beberapa tahun terakhir. 

Pada 2017, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani undang-undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA) menjadi undang-undang. CAATSA berupaya mencegah negara-negara dari melakukan transaksi pembelian senjata keamanan maupun pesawat tempur militer kepada Rusia.

Ketika anggota NATO, Turki memesan S-400 dengan kesepakatan 2,5 miliar dolar Amerika Serikat, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi CAATSA. Sedangkan ancaman keluar dari program F-35 Joint Strike Fighter pada musim panas 2019, setelah menerima pengiriman komponen pertama S-400, belum menjadi subyek sanksi CAATSA.

Senator Amerika Serikat, Lindsey Graham mendesak Turki agar tidak mengaktifkan sistem rudal untuk menghindari sanksi CAATSA. Tentu saja saran tersebut ditolak dengan menekankan bahwa mereka membeli rudal untuk keperluan mereka.

Turki sebelumnya telah menjadwalkan mengaktifkan S-400 pada April 2020, namun hal ini masih belum dilakukannya. Turki menyatakan, saat ini negaranya masih fokus pada penanganan pandemi Covid-19. Namun Turki menegaskan bahwa S-400 akan tetap diaktifkan meskipun mendapat perlawanan dari Amerika Serikat.

Turki bahkan berkeinginan untuk memesan rudal untuk kedua kalinya dalam waktu dekat. Kesediaannya untuk melakukan double down menunjukkan betapa sedikitnya ancaman sanksi CAATSA telah menghalangi sekutu besar Amerika Serikat dan sesama anggota NATO untuk membeli perangkat keras militer Rusia tersebut. 

Mesir sedang dalam pembicaraan untuk membeli armada jet tempur Su-35 canggih  dari Rusia dengan kesepakatan 2 miliar dolar Amerika Serikat. Amerika Serikat pun telah memperingatkan Kairo bahwa mereka akan mendapatkan sanksi CAATSA juga jika tetap maju.

Amerika Serikat, Rusia, dan sebagian besar negara Eropa adalah penandatangan Rezim Kontrol Teknologi Rudal (MTCR) yang menentang proliferasi sebagian besar rudal balistik dan drone. Beijing tidak pernah menandatangani MTCR dan karenanya tidak memiliki kesusahan dalam membantu Turki mengembangkan program rudal balistiknya dan menjual drone bersenjata ke Irak, Yordania, dan Uni Emirat Arab. Drone Wing Loong II buatan China yang terakhir telah digunakan secara luas dalam konflik di Libya dan Yaman.

Sekarang, pemerintahan Trump berencana menafsirkan kembali MTCR yang berpotensi dapat membalikkan larangan Washington atas penjualan drone tersebut. AS mulai membuka penjualan drone bersenjata untuk pemerintah yang kurang stabil, seperti Yordania dan Uni Emirat Arab.

"Mengesampingkan perjanjian itu akan memungkinkan kontraktor pertahanan Amerika Serikat General Atomics Aeronautical Systems Inc dan Northrop Grumman Corp masuk ke pasar baru yang saat ini didominasi China dan Israel, yang tidak berpartisipasi dalam MTCR," kata laporan itu di Reuters.

Yordania telah berusaha menjual armadanya dari pesawat pelangi CH-4B CH-4B buatan China setelah mengoperasikannya lebih dari dua tahun. Amman dilaporkan tidak senang dengan kinerja pesawat tersebut dan ingin segera dipensiunkan. Insiden itu sangat menguntungkan Amerika Serikat untuk menjual banyak drone di negara Timur Tengah, karena mereka akan memilih drone Amerika.

Arab Saudi diam-diam membeli rudal DF-3A kuno di akhir 1980-an dari China. Kemudian pada 2007, membeli DF-21 yang lebih akurat dan canggih. Rudal-rudal ini dipamerkan untuk pertama kalinya pada 2014. Negara tetangganya, Qatar juga membeli rudal balistik SY-400 buatan Tiongkok jarak pendek, yang diarak oleh militer Qatar untuk pertama kalinya pada 2017. 

 

Sumber: https://english.alaraby.co.uk/english/indepth/2020/6/24/russia-china-seek-foothold-in-middle-east-arms-market 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement