Jumat 26 Jun 2020 11:36 WIB

Riset: 16 Ribu Anak di Jatim Depresi Akibat Pandemi Covid-19

Perubahan kehidupan yang cepat saat pandemi menjadi penyebab depresi pada anak.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Andri Saubani
Dokter berbincang dengan pasien anak berstatus OTG (Orang Tanpa Gejala) Covid-19 di halaman samping mess karantina Rusunawa IAIN Tulungagung, Tulungagung, Jawa Timur, Senin (22/6). Banyak anak-anak di Jatim ikut menjadi korban wabah Covid-19. (ilustrasi)
Foto: ANTARA /Destyan Sujarwoko
Dokter berbincang dengan pasien anak berstatus OTG (Orang Tanpa Gejala) Covid-19 di halaman samping mess karantina Rusunawa IAIN Tulungagung, Tulungagung, Jawa Timur, Senin (22/6). Banyak anak-anak di Jatim ikut menjadi korban wabah Covid-19. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur (Jatim), Andriyanto, menyebutkan, sedikitnya 16 ribu anak di wilayah setempat depresi akibat wabah Covid-19. Perubahan kehidupan yang terlalu cepat menjadi penyebab banyaknya masyarakat mengalami depresi, termasuk anak-anak.

"Riset Kesehatan Dasar menyebutkan, ada sekitar 1,6 persen anak mengalami depresi. Dari 42 juta jiwa penduduk Jatim, anak usia 0-18 tahun sekitar 10,58 juta. Artinya, dari sekitar 10 juta anak di Jatim, sekitar 16 ribuan anak di Jatim mengalami depresi selama masa Covid-19, ini fakta," kata Andriyanto saat mengikuti Webinar Aliansi Pelajar Surabaya yang digelar Kadin Jatim, Jumat (26/6).

Baca Juga

Andriyanto mengatakan, wabah Covid-19 yang berkepanjangan juga memunculkan banyak permasalahan di tingkat keluarga. Artinya, menurut dia, saat ini ketahanan keluarga sedang diuji. Di antara masalah yang paling menonjol adalah kesulitan ekonomi.

Dia mengakui Covid-19 juga menyebaban angka stunting di Jatim mengalami kenaikan. Padahal, pada tahun 2019 Jatim telah berhasil menekan angka stunting dari 30,8 persen menajdi 27,5 persen.

"Bahwa di tahun 2019 kita memang sukses menurunkan angka stunting. Namun, tahun 2020 ada survei ketahanan pangan, ternyata kecukupan pangan anak turun drastis. Orang tua banyak yang mengalami PHK sehingga persoalan ekonomi menjadi cacat," ujarnya.

Maka dari itu, Andriyanto melanjutkan, agar bisa beradaptasi dengan protokol Covid-19 dan tidak depresi, anak harus secara perlahan diajarkan untuk berpindah menerapakan tatanan normal baru, tentunya dengan manajemen mental yang tepat. Pendekatan agama, menurut dia, menjadi solusi tepat untuk mendorong perubahan tersebut.

"Ini harus kita bangun. Bagaimana kita me-manage mental anak serta jangan dijadikan objek. Anak harus dijadikan subjek. Kalau seandainya anak berani menegur teman dan orang tua, ini menjadi sesuatu yang luar biasa. Berikan peran," kata dia.

Pendiri Yayasan Alit Indonesia, Yuliati Umrah, mengatakan, membiasakan anak disiplin melaksanakan protokol kesehatan harus diawali oleh orang tuanya. Pasalnya, menurut dia, mereka adalah manusia peniru.

"Anak sangat meniru orang tua. Anak jauh lebih mudah dikasih contoh. Tinggal orang dewasa ini memberikan contoh konkret karena biasanya prilaku orang dewasa ini absurd. Yang dikatakan dengan yang dilakukan tidak sama. Inilah yang kemudian menjadikan anak-anak semakin tertekan dan stres," katanya.

Di sisi lain, agar anak tidak mengalami depresi, menurut Yuli, anak harus diberikan ruang untuk berekspresi. Bagaimana ruang yang biasa dinikmati saat di sekolah dan di luar rumah bisa kembali dinikmati di dalam rumah.

"Bagaimana ruang rumah menjadi nyaman bagi anak. Anak-anak punya energi lebih, ini dikemanakan. Ruang partisipasi anak harus diperbanyak, terutama pada minat dan bakat mereka," ujarnya.

Ketua Umum Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto, mengaku sangat bersimpati dan memberikan apresiasi kepada seluruh pihak yang selama ini telah memberikan perhatian kepada anak-anak pada masa pandemi. Menurut Adik, dalam situasi seperti ini semua lapisan masyarakat harus saling mendukung dengan melakukan peran masing-masing.

photo
10 besar daerah dengan rasio kasus Covid-19 tertinggi. - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement