Kamis 25 Jun 2020 21:34 WIB

Pandemi Tumbuhkan Bibit Otoritarianisme di Seluruh Dunia

Wabah COVID-19 menyisakan ancaman terhadap demokrasi.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/dpa/May James/Geisler-Fotopress
picture-alliance/dpa/May James/Geisler-Fotopress

Pandemi Covid-19 turut menyuburkan praktik otoriter oleh pemerintahan di sejumlah negara di dunia. Fenomena ini dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi, demikian kesimpulan 500 tokoh masyarakat yang disampaikan melalui sebuah surat terbuka.

Sejak wabah corona berkecamuk di Cina, Desember silam, negara-negara Eropa, Asia, Amerika dan Afrika bereaksi dengan membatasi hak sipil, antara lain pembatasan kebebasan berpergian, kebebasan berbicara dan juga kebebasan berkumpul.

Kendati diperlukan, langkah tersebut dikhawatirkan bisa membuka kotak Pandora bagi rejim otoriter di dunia.

“Rejim otoriter memanfaatkan krisis ini untuk membungkam kritik dan memperkuat kekuasaan politiknya,” tulis para tokoh, termasuk 60 bekas kepala negara, serta pemenang penghargaan nobel, dalam sebuah surat yang digalang Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) di Stockholm, Swedia.

“Bahkan pemerintahan-pemerintahan yang dipilih secara demokratis berusaha menanggulangi pandemi dengan mengaktifkan kekuasaan darurat yang membatasi Hak Asasi Manusia dan meningkatkan pengawasan publik tanpa kerangka hukum atau kontrol oleh parlemen.”

Lebih dari 80 negara tercatat memberlakukan status darurat nasional, menurut lembaga nirlaba AS, International Center for Non-Profit Law. Larangan keluar rumah, denda bagi pelanggaran, pengawasan ekstra, penyensoran dan penguatan wewenang eksekutif merupakan indikator paling mencolok.

Alhasil norma demokrasi perlahan tergerus yang sekaligus berdampak pada kebebasan politik, serta kemampuan pemerintahan menanggulangi darurat kesehatan di masa depan, kata Sekretaris Jendral IDEA, Kevin Casas-Zamora.

Bibit Otoritarianisme

Di antara negara yang menjadi contoh kemunculan praktik otoritarianisme yang ditandai penambahan kekuasaan pemerintah tanpa diimbangi pengawasan adalah Filipina, Hungaria, El Salvador dan Turki.

“Ada alasan yang legitim untuk mengaktifkan kewenangan darurat bagi pemerintah. Yang bermasalah adalah ketika pemerintah menggunakan kewenangan darurat untuk membungkam media independen dan hak-hak fundamental lain,” kata pria yang pernah menjabat sebagai wakil presiden Costa Rica itu.

“Kami ingin menarik perhatian publik pada ancaman terhadap demokrasi di tengah krisis ini. Bukan untuk melindungi demokrasi, tetapi bahwa demokrasi memiliki niai dasar dalam menanggulangi pandemi dan menyiapkan diri untuk menghadapi krisis di masa depan,” imbuhnya.

Di antara para penandatangan petisi adalah bekas Presiden Brasil Fernando Henrique Cardoso, dan Jeb Bush, bekas Gubernur Florida yang juga adik bekas Presiden AS George W. Bush.

Menurut catatan IDEA, pandemi Covid-19 sudah menunda atau membatalkan 66 pemilihan umum di seluruh dunia. Bahkan sepertiganya adalah pemilihan berskala nasional. Hampir 50 negara membatasi kebebasan pers, 21 di antaranya dilakukan oleh pemerintahan yang terpilih secara demokratis.

Di Indonesia wabah corona menunda Pemilihan Kepala Daerah di sembilan provinsi, 209 dari 224 kabupaten dan 37 kota. Diperkirakan sebanyak 100 juta pemilih terdampak. Saat ini Komisi Pemilihan Umum mengklaim sedang menggodok tata cara pemilihan baru agar sesuai dengan protokol wabah yang telah diputuskan pemerintah.

rzn/vlz (afp,scmp,rtr)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement