Kamis 25 Jun 2020 18:54 WIB

Pahala Ziarah Kubur

Berziarah kubur melembutkan hati.

Warga melakukan ziarah kubur di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta, Senin (25/5/2020). Tradisi ziarah kubur pada Hari Raya Idul Fitri masih dilakukan warga meskipun sudah ada imbauan untuk tidak berkerumun sesuai aturan PSBB yang masih diberlakukan di Provinsi DKI Jakarta.
Foto: Antara/Galih Pradipta
Warga melakukan ziarah kubur di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta, Senin (25/5/2020). Tradisi ziarah kubur pada Hari Raya Idul Fitri masih dilakukan warga meskipun sudah ada imbauan untuk tidak berkerumun sesuai aturan PSBB yang masih diberlakukan di Provinsi DKI Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Ziarah kubur hukumnya sunah. Terutama menziarahi makam kedua orangtua. Pahala ziarah kubur tidak hanya berupa kebaikan di akhirat tapi juga di dunia. Secara psikologis, ziarah kubur bahkan berpengaruh positif bagi kehidupan individual dan komunal. Namun dalam sejarah perkembagan hukum Islam, ziarah kubur sempat dilarang oleh Nabi SAW.  

Nabi SAW bersabda, “Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat. Namun kalian jangan mengatakan perkataan yang tidak layak saat berziarah.” (HR. Hakim).

Berdasar hadits ini, perbaikan karakter dari ziarah kubur adalah mengubah diri dari pemberang menjadi penyayang, dari keras hati menjadi mudah menangis, dari tabiat cinta dunia menjadi ingat akhirat. Ziarah kubur juga dapat dijadikan ajang silaturahim orang yang masih hidup kepada orang yang telah meninggal, terutama kedua orangtua.

Nabi SAW bersabda, “Aku meminta izin kepada Tuhan-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan kamu akan kematian.” (HR. Muslim).

Dalam literatur Islam, mengingat kematian menghantarkan manusia pada budi pekerti yang tinggi. Seperti zuhud atau sikap tidak lagi tertarik terhadap dunia dan hanya mengambil sebagian kecil saja untuk beribadah. Soal ini, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Munabbihat bercerita tentang Ibrahim bin Adham yang ditanya soal dirinya hingga mencapai tingkat zuhud.

Inilah jawaban Ibrahim bin Adham, pertama, “Kubur itu menakutkan, sedangkan aku tidak punya sesuatu yang dapat menyelamatkan.”  Kedua, “Aku melihat perjalanan menuju akhirat sangat jauh, sementara aku tidak punya bekal.”  Ketiga, “Aku meyakini Allah SWT Maha Perkasa sebagai hakim, sedangkan aku tidak punya argumen apa-apa.”

Oleh karena itu tepatlah perkataan Abu Bakar Shidik, sebagimana juga dikutip oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Barangsiapa yang masuk kubur tanpa bekal, seakan-akan dia mengarungi lautan tanpa kappa.”   Nabi SAW bersabda, “Keadaan mayat di dalam kubur tak ubahnya seperti orang yang tenggelam meminta tolong.” (HR. Dailami). 

Informasi Nabi SAW ini cukup buat kita untuk segera berziarah kubur. Nabi SAW bercerita, “Apabila seseorang meninggal diperlihatkan kepadanya tempat kembalinya pada pagi dan petang. Jika dia penduduk surga, maka masuklah dia ke surga, dan jika dia penduduk neraka, maka akan masuklah dia ke neraka.” (HR. Bukhari).

Artinya orang-orang yang saat ini berada di alam kubur, sebelum kiamat datang, mereka sudah tahu akan masuk surga atau masuk neraka. Sebab pada pagi dan petang hari Allah SWT memperlihatkan tempat kembali untuk mereka, surga atau neraka. Doa kita saat berziarah kubur tentu memberikan pengaruh positif bagi keadaan mereka yang ada di alam kubur.  

Kesimpulannya, kebaikan ziarah kubur dirasakan oleh orang yang berziarah dan yang diziarahi. Bagi orang yang diziarahi telah terputus amalnya kecuali tiga perkara, “Sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim). Anak saleh dalam konteks ini bukan saja anak biologis tapi juga anak ideologis.

Sedangkan pahala bagi yang berziarah kubur adalah, “Barangsiapa yang ziarah ke kuburan kedua orangtuanya atau salah satunya pada hari Jumat, pahalanya seperti haji.” (HR. Abu Nuaim). Begitu juga, “Barangsiapa yang ziarah ke kubur kedua orangtuanya atau salah satunya pada hari Jumat, dia diampuni dan dicatat sebagai anak berbakti.” (HR. Thabrani).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement