Kamis 25 Jun 2020 18:52 WIB

Dinkes Kediri Minta Warga Waspada Penyakit Chikungunya

Jumlah penderita chikungunya pada Juni ini sebanyak 128 orang.

Dinkes Kediri Minta Warga Waspada Penyakit Chikungunya. Nyamuk Aedes aegypti.
Foto: Reuters/ Paulo Whitaker
Dinkes Kediri Minta Warga Waspada Penyakit Chikungunya. Nyamuk Aedes aegypti.

REPUBLIKA.CO.ID, KEDIRI -- Dinas Kesehatan Kota Kediri, Jawa Timur, meminta warga mewaspadai ancaman terjadinya chikungunya, virus yang ditularkan melalui nyamuk. Intensitas hujan masih relatif tinggi hingga menyebabkan air menggenang.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Kediri Fauzan Adima mengemukakan jumlah penderita chikungunya pada Juni ini bahkan tertinggi sejak awal 2020. "Jumlah penderita chikungunya pada Juni ini sebanyak 128 orang. Paling banyak ditemukan di Kecamatan Mojoroto sebanyak 88 orang," kata Fauzan yang juga Direktur RSUD Gambiran Kota Kediri, Kamis (25/6).

Baca Juga

Ia menambahkan, pasien yang sakit chikungunya di Kecamatan Mojoroto terdata di Puskesmas Campurejo 23 orang dan Puskesmas Sukorame 65 orang. Sedangkan untuk lokasi yang terjangkit juga menyebar antara lain di Kelurahan Campurejo, Tamanan, Sukorame, Bujel, dan Mojoroto.

Hingga saat ini temuan pasien yang terkena chikungunya lainnya berada di Kelurahan Banaran, Kota Kediri sejumlah 40 orang dan saat ini menjalani perawatan di Puskesmas Pesantren. Jumlah tersebut meningkat tajam dari bulan sebelumnya, Mei 2020 yang hanya 17 orang.

Sedangkan, sejak pada Januari hingga akhir Juni 2020, jumlah keseluruhan kasus warga yang terkena chikungunya di Kota Kediri sebanyak 191 kasus.

Terkait dengan temuan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Kota Kediri juga cenderung lebih sedikit. Sejak Januari hingga Mei 2020, jumlah pasien DBD yang terdata sebanyak 100 orang. Kasus tersebut juga tersebar merata di seluruh kecamatan wilayah Kota Kediri antara lain Kecamatan Mojoroto, Kota, dan Pesantren.

Untuk angka tertinggi kasus DBD di Kota Kediri terjadi di Maret sebanyak 30 kasus. Sedangkan data bulan Mei jumlahnya mulai turun menjadi 15 kasus.

Fauzan juga menambahkan, penyakit chikungunya dan DBD tersebut bisa terjadi karena disebabkan oleh infeksi virus melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan serangan ini sering terjadi di daerah tropis, seperti Indonesia. Demam chikungunya dan DBD juga memiliki banyak kemiripan pada tahap awal, sehingga kerap terjadi salah diagnosis untuk pengobatannya.

Nyamuk Aedes aegypti juga memiliki karakteristik dalam menggigit manusia. Nyamuk tersebut banyak aktif menyerang antara pukul 10.00 WIB hingga 12.00 WIB. Dalam beberapa kasus nyamuk ini juga menyerang pada pukul 16.00 WIB hingga 17.00 WIB atau sebelum maghrib.

Dia menambahkan, pada serangan pertama, gejala klinis yang muncul akibat gigitan nyamuk adalah demam, sakit kepala, nyeri sendi dan otot, serta ruam. Fase berikutnya mulai terdapat perbedaan pada DBD, dimana pasien bisa mengalami perdarahan ringan hingga neutropenia.

Perbedaan lainnya adalah pada penderita yang mengalami demam karena chikungunya memiliki masa inkubasi virus sekitar 1-12 hari. Sedangkan gejala dan penyakitnya bisa berlangsung sekitar satu hingga dua pekan.

Sedangkan, untuk penderita DBD masa inkubasinya 3-7 hari, dengan durasi penyakit bisa berlangsung dari 4-7 pekan, tergantung sistem kekebalan tubuhnya.

Ia juga memberikan saran agar warga banyak mengonsumsi makanan yang bergizi dan berolahraga teratur, terlebih lagi di masa pandemi Covid-19 ini. Masyarakat juga diharapkan tetap menjaga lingkungan demi mencegah nyamuk berkembang.

"Penting untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan di masa pandemi (Covid-19) ini. Selain kebersihan diri untuk mencegah corona, juga mengantisipasi gigitan nyamuk," kata Fauzan.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement