Kamis 25 Jun 2020 12:44 WIB

Viral (Cerpen)

Gara-gara masker Mbah Ti dan cucunya menjadi viral.

Gara-gara masker menjadi viral.
Foto: AP/Vincent Thian
Gara-gara masker menjadi viral.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Umi Kulsum*

Nana menyibak rambut bonekanya. Disisir pelan-pelan dengan sisir plastik mungil. Di teras rumah Mbah Ti berserakan rupa-rupa mainan anak-anak.

Nana menunggu Rini, sepupu yang tinggal di sebelah rumah Mbah Ti. Ia berjanji bermain bersama pagi ini. Sekarang  pukul tujuh, Rini belum muncul juga.

Mbah Ti duduk di ruang tamu bersama  Dewi.

“Beli ayam, Nana suka sayap.  Sayur asem, tewel buat lodeh, daging. Oh, jangan dagingnya, tetelan saja. Kita buat kaldu kacang hijau. Beli sawi, cabe hijau, cabe merah, buat oseng-oseng. Apa lagi? Sop-sopan, tambahi iga sapi,” Mbah Ti mendiktekan, Dewi menuliskan di selembar kertas bekas bungkus obat nyamuk.

“Cumi-cumi, Bu?” Itu suara Dewi.

“Mahal,” kata Mbah Ti.

Dewi adik bungsu Bapak, masih sekolah SMK. Nana menanggilnya Tante Dewi.  Di rumah ini hanya berdua Mbah Ti dan Dewi. Nana sudah menginap di sini selama dua hari. Bapak sibuk di rumah sakit, Ibu repot di Puskesmas. Nana diungsikan sementara waktu.

“Paling lama seminggu,” kata Ibu saat mengantar Nana ke rumah Mbah Ti. Ya, ya, dua minggu pun tak apa. Nana suka di rumah Mbah Ti. Dia bisa minta apa saja, tidak ada larangan ketat seperti Bapak dan Ibu.

“Jangan beli minuman sachet.” Larangan pertama Bapak. Ini mudah.

“Tidur pukul sembilan malam.” Kedua, ini tak apa. Di rumah Mbah Ti, jam delapan malam biasanya Nana sudah mengantuk. Sebab seharian bermain terus tanpa tidur siang.

“Main hape hanya satu jam sehari.” Ketiga, sungguh berat.

“Jangan lupa tidur siang.” Ini Ibu yang bicara, dan Nana yakin tidak akan bisa melaksanakan. Jadi bagian ini, Nana tidak mengiyakan.

Setiap pagi, sore dan malam, Ibu dan Ayah bergantian melakukan panggilan video. Nana punya kesempatan bercerita panjang lebar: apa saja yang dilakukan, dengan siapa,  makan dengan lauk dan sayur apa.

Nana bercerita, Ayah dan Ibu menyimak. Sesekali Ayah sambil tiduran, Ibu mondar-mandir ke sana ke mari. Nana juga demikian; bercerita sambil tengkurap, terlentang, bersimpuh di lantai. Suka-duka dia saja. Nana tidak menuntut ditengok Ayah dan Ibu. Ia  sudah cukup paham keadaan sulit yang ada. Mbah Ti keluar ke teras dan mengambil sandal di rak dekat pintu.

“Wii, ambilkan keranjang,” Mbah Ti berteriak ke dalam. Dewi keluar dengan keranjang anyaman bambu di tangannya.

“Jangan lupa cumi-cumi,” kata Dewi sambil menyerahkan keranjang, sambil mengedipkan mata.

“Mahal!”  Mbah Ti melengos.

“Nana juga mau cumi-cumi,” Nana memandang Mbah Ti takut-takut. Dewi diam-diam mengacungkan jempol, lalu cepat-cepat menurunkan sebelum Mbah Ti melihat. Mbah Ti diam menatap Nana, antara jengkel dan ingin tertawa. Mulutnya terkatup rapat, namun ada tarikan senyum samar yang nampak.

“Ambil wadah, Wi. Bekas tahu susu itu,” kata Mbah Ti.

“Buat apa?” Dewi heran.

“Buat wadah cumi-cumi! Eh, pakai yang tutupnya rapat saja.  Kalau sampai tintanya tumpah, amisnya ke mana-mana,” Mbah Ti merepet. Dewi melesat dan kembali dengan wadah berwarna oranye.

Nana menoleh ke rumah Rini. Sepi, pintunya terbuka tapi tak ada siapa pun yang tampak. Kalau Mbah Ti ke pasar, sementara Rini belum datang, Nana akan sendirian di teras.

Dewi sibuk dengan tugas sekolah di ruang tengah. Nana tidak berani bermain dekat-dekat Dewi. Ribut sedikit, Dewi akan men-ssst tanpa ampun. Galak.

“Mbah, Nana ikut!” Nana berdiri. Melihat respon Mbah Ti, yang terkejut dan memandang Nana tak percaya, Nana menyesal keceplosan begitu. Tapi sudah terlanjur. Nana ingin ikut karena takut sendirian. Nana juga ingin tahu pasar. Selain itu, seingat Nana tak ada larangan tentang ikut Mbah Ti ke pasar.

“Di rumah saja dengan Dewi,” Mbah Ti mengibaskan tangannya.

“Aku mau kerjakan tugas di kamar,” Dewi bersuara. Mbah Ti memandang Nana dan Dewi bergantian. Raut jengkel mulai muncul lagi. Sepertinya wajah Mbah Ti sering disetel jengkel. Gurat-guratnya tercetak di dekat bibir dan dahi.

“Cepat, pakai jilbab,” Mbah Ti balik kanan. Dewi lagi-lagi mengacungkan jempolnya sambil tertawa kecil. Mbah Ti balik kanan lagi, dan terkejut mendapati Nana masih berdiri sambil senyum-senyum.

Lee, cepetan! Keburu kehabisan cumi-cumi!” Mbah Ti hampir berteriak. Nana berlari gugup menuju kamar, menarik jilbab yang disampirkan di kursi dekat pintu. Dewi membetulkan letak jilbabnya yang miring.

“Minta kue jongkong dan mendut,” Dewi berbisik. Nana mengangguk.

“Roti kukus juga,” Dewi menambahi. Nana mengangguk  lagi.  Mereka berdua berjalan ke ujung gang. Ada beberapa becak parkir di sana.

“Pasar!” kata Mbah Ti. Salah satu mendorong becaknya maju mendekat. Nana naik lebih dahulu. Mbah Ti menyodorkan keranjang pada Nana lalu naik. Keranjang di pangkuan Nana menutupi sebagian wajahnya. Becak melaju semakin dekat pasar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement