Rabu 24 Jun 2020 04:31 WIB
Islam

Persatuan NU: Imaji Meriam, dan Kuda Kepang

Persatuan umat Islam dan perpecahan NU-Masyumi

Kampanye Partai NU dalam Pemilu 1971.
Foto: Google.com
Kampanye Partai NU dalam Pemilu 1971.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Akhmad Khoirul  Fahmi, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Unsoed dan Pengurus Pesanteb al Azhari, Banyumas.

Ada kalangan muslim modern yang  umumnya  berkesempatan mendapatkan pendidikan  Barat  cukup  tinggi dan ada kalangan  santri yang lebih pada bermodal pendidikan pesantren. Pembelahan identitas  inilah yang kemudian  muncul  mengemuka ketika  NU  memutuskan keluar dari Masyumi.

Catatan Kiai Saifuddin Zuhri,  KH Wahid  Hasyim  dalam pidato  di Konferensi  dakwah  di  Magelang  tahun 1951,  sehubungan   keputusan   sikap  Masyumi  dalam  menerima  perjanjian  San Fransisco  (perjanjian perdamaian   Indonesia-Jepang)  yang  menuai sikap  pro  dan  kontra. 

Kiai  Wahid Hasyim  kala itu menyampaikan, “Dalam   kalangan umat islam  ada dua  macam  golongan pemimpin. Ada  golongan  pemimpin  politik  yang memakai  merek  atau cap  islam, mereka  pada umumnya  terdiri  dari  kaum cerdik pandai  yang mendapat pendidikan  Barat.  Golongan  kedua  dari kalangan  ahli  agama  yang  betul-betul menguasai  ilmu agama  Islam yang  sangat luas  yang disebut  golongan ulama. Mereka ini  punya  pengaruh  amat  besar   dalam  masyarakat  dan  mempunyai  kedudukan  sangat terhormat”.

Selanjutnya  dikatakan  oleh  Kiai Wahid  Hasyim, pada masa Pemerintahan  Hindia Belanda  dan  Jepang,  dalam  kedua kekuasaan  itu  mereka  tahu betul harga  kedudukan  ulama.   Kedua  kekuasaan  tersebut  menjadikan  ulama  sebagai alat untuk  mempertahankan dan memperkokoh  kedudukan mereka. Jepang memasukkan ulama  sebagai alat  strategis dalam  mencapai  kemenangan  akhir perang Asia  Timur  Raya melawan sekutu.

Ulama dijadikan senjata  perang disamping  beras, besi  tua,  minyak  dan amunisi.  Kalau orang asing  tahu  benar harga  para   ulama  meskipun  salah  penggunaanya, amat disesalkan   bahwa bangsa sendiri,  terutama  golongan  yang menamakan  dirinya  “Pemimpin  Islam”  tidak  menyadari kedudukan ulama   dalam  masyarakat  kecuali untuk diperalat   dan dijadikan semacam   kuda kepang. Ulama   dijadikan  pijakan  untuk mencapai  kedudukan politik, popularitas  dan mencari pengaruh.

“Dan  dalam   hubungan  ini  Nahdatul Ulama telah banyak  ‘meminjamkan’para   ulamanya  untuk diperlakukan  menjadi  alat. Saya banyak  mendapat laporan  dari  daerah-daerah, bahwa  para ulama   bukan saja dibatasi   ruang  geraknya, bahkan  lebih  dari  itu, para ulama   harus  mau  dipimpin  oleh orang-orang  yang  dangkal  pengetahuan  (agama)nya  meskipun  mempunyai  merek  ‘pemimpin Islam’. Inilah tugas  para mubaligh  NU  untuk  mengembalikan  wibawa ulama  sebaga pemimpin  umat  dan warasatulanbiya,'' tegas KH Wahid Hasyim.

Beberapa  kata  yang kemudian  “lestari” menjadi   ingatan  persoalan   renggangnya hubungan  kalangan NU  dan Masyumi, atau  katakanlah  NU dan  kelompok luar NU, diantaranya  istilah  kuda  kepang,  pengertian  ulama,  pemimpin islam atau   merek pemimpin islam, termasuk  nanti  berikut  berbagai joke  yang menyertai  berikutnya, tentang perebutan  mesjid dan  pengimaman.  “Tidak  cuma  masjid,  pengimaman  dan  mimbar, bahkan  bedug, kentong  dan sandal-sandalnya  hendak  direbut,'' begitu salah satu guruan yang muncuk saat itu.

Istilah  tersebut sekarang  merujuk  pada dikotomi  'radikal  versus  noderat  atau toleran.  Selain itu   masih  ada problem  pemahaman  syarat  bersatunya umat.  Bagi  kalangan  Nahdiyin,  proses  menjadi   Islam   adalah  tidak  membeda-bedakan tingkat  afiliasi komitmen  keislaman seseorang.  Artinya  seseorang  mau  shalat saja  itu  sudah  bagus. Hal yang terpenting harus  mau  mengaji, dengan  mengaji kepada  guru  kualitas  ulamanya  diakui (Sanad).

Hal  terpenting lainnya adalah  mendakwahkan Islam seluas-luasnya, sekalipun belum sempurna  dalam  pengamalan. Terhadap  orang yang  belum  menjalankan ajaran  islam secara sepenuhnya, selama  tidak  memperlihatkan sikap  menghina, atau  melecehkan  ajaran Islam, persoalan kesholehan  pribadi  sangat  nafsi-nafsi. Bukan ukuran   keloyalan  atau  tidaknya  pada  ajaran  islam.

Bagi  kalangan  'pemurnian' Islam,  tidaklah  mungkin umat islam  itu  bersatu  jika  tidak   kembali  pada pemahaman  Islam  sebagaimana   Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam praktiknya  adalah  bagaimana   mengamalkan Islam sebagaimana  sahabat  dan atau  ahlul  Madinah. Termasuk  paling penting adalah aspek  tauhid  untuk  tidak  menpersekutukan dengan apapun.

Bagi  kalangan 'pembaharu Islam' yang  mencoba  meramu  antara   aspek   pemurnian  dan  modernitas  Barat, bahwa pengertiannya adalah  kemajuan islam. Bahwa islam akan  maju dan bersatu jika  mereka  mau  kembali  kepada Al-Quran dan sunnah, mengambil sikap Ijtihad dan menerima  rasionalitas  barat  dalam hal yang  baik-baik. Termasuk dalam hal   rasionalitas  barat adalah aspek teknologi dan  ilmu  manajemen.

Alhasil, pengertian ulama  bagi kalangan pembaru Islam idak  hanya  para ahli  fiqh, bahkan lebih  luas. Sebab  para ahli ilmu  juga menyangkut  ilmu ilmu umum.  sebab tidak  mungkin  jika harus  hanya  menyandarkan pada keahlian satu ulama saja (misal  ahli fiqh). Soal ini pun sebenarnya warisan lama yang terpenting setelah  khilafah Usmani  runtuh. Sebab mereka percaya bukanlah  menyatukan semua kekuatan Islam —terutama  dalam  politik— akan tetapi  mengajak  umat  islam mencapai  ukuran ukuran  kemajuan  yang  dapat menjadikan  mereka  berperan   mengubah  peradaban.

                        

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement