Selasa 23 Jun 2020 20:25 WIB

St. Pauli yang Masih Eksis

Uang mungkin berperan penting dalam sepakbola untuk membeli pelatih dan pemain.

Rep: Muhammad Ikhwanudin/ Red: Agung Sasongko
Pemain St.Pauli saat berlaga di Divisi Dua Liga Jerman.
Foto: EPA-EFE/FOCKE STRANGMANN
Pemain St.Pauli saat berlaga di Divisi Dua Liga Jerman.

REPUBLIKA.CO.ID, HAMBURG -- Uang mungkin berperan penting dalam sepakbola untuk membeli pelatih dan pemain terbaik, bahkan mampu mengembalikan kompetisi setelah pandemi virus corona. Namun bagi beberapa tim kecil lain, uang bukanlah segalanya. 

Klub divisi dua Bundesliga Jerman, St. Pauli tetap eksis meski tidak ada satupun gelar yang mereka dapatkan sejak berdiri pada 1910 silam. Usia 110 tahun sudah terbilang sangat tua untuk sebuah klub sepakbola, dan supporter mereka tetap setia hadir di segala kesempatan walaupun tak ada trofi. 

Baca Juga

St. Pauli hanya pernah menetap di divisi utama selama delapan musim hingga 2011, mereka harus terdegradasi ke divisi dua karena hanya bertengger di urutan terbawah klasemen akhir. 

Mereka semakin terpuruk karena hampir terdegradasi ke visi ketiga. Namun yang mencengangkan, seperti dalam laporan BBC Sports, penjualan kostum tim St. Pauli merupakan yang terbesar ketiga seantero Jerman dan sangat jarang tiket pertandingan tidak habis terjual. 

Para supporter bahkan membuka diri untuk mendukung klub secara finansial ketika pandemi virus corona berdampak destruktif kepada keuangan tim.

Dukungan supporter St. Pauli sudah mendarah daging karena mereka tidak hanya menyuarakan yel-yel untuk tim kesayangan mereka dalam hal sepakbola. Para pendukung juga berani menyatakan sikap melalui spanduk raksasa menentang fasisme, rasisme, homofobia, dan seksisme di tribun penonton. 

Sejarah mencatat, St.Pauli dibentuk oleh kelompok buruh beberapa tahun sebelum perang dunia pertama. Sejak saat itu, budaya kelas menengah-bawah yang cenderung solid tidak berubah hingga saat ini. 

Bermarkas di kawasan yang didominasi tempat prostitusi di Hamburg, para pendukung tidak terusik dengan wilayah mereka yang disebut 'zona pendosa'. Justru, mereka menawarkan konsep dukungan tim sepakbola dengan cara yang berbeda karena mengandalkan sikap kolektif antarsuporter. 

Ketua Suporter St.Pauli, Michael Pahl menyatakan, pihaknya bahkan akan membuat sebuah museum tentang klub itu dengan menggunakan dana sumbangan dari para pendukung klub. 

"St.Pauli adalah klub otentik. Cara kami berbeda dengan mencari cara mandiri untuk menjaga nilai-nilai luhur dari segala komersialisasi," ujarnya. 

"Itulah yang St.Pauli lakukan selama beberapa dekade terakhir. Ini adalah perjuangan yang akan tetap kami lakukan," kata dia. 

Michael menegaskan, klub dan supporter memiliki beberapa prinsip yang harus dilakukan hingga waktu yang tidak ditentukan. Misalnya, supporter wajib menjaga ketertiban sebelum kick-off dimulai. 

Kemudian, manajemen klub dan supporter wajib menggelar diskusi yang intens. Direksi klub membuka pemungutan suara untuk memilih nama stadion. 

"Klub ini berusaha mendengar semua opini orang dan mencari cara untuk berkompromi. Memang tidak mungkin membuat semua orang senang tapi ini adalah nilai yang kami anut," ucapnya. 

"Semangat untuk berdiri di atas kaki sendiri dari komunitas supporter adalah cara yang sangat berbeda. Jika suporter mau bergerak dan bersatu, banyak hal baik akan datang," katanya. 

Presiden klub St.Pauli, Oke Gottlich juga mengritik komersialisasi dalam sepakbola Jerman. Ia berpendapat, Bundesliga yang kembali digelar setelah pandemi virus corona didasari oleh kepentingan bisnis. 

Tapi, mau tak mau St.Pauli harus melanjutkan kompetisi dan mencoba merangkak dari posisi mereka di urutan ke-14 di klasemen sementara. Untuk menanggulanginya, manajemen klub akan berdiskusi dengan supporter untuk turut membantu tim. 

"Terlalu banyak uang yang dilibatkan dan itu menjadi fokus utama. Pertandingan digelar demi televisi, bukan untuk supporter," ujar dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement