Selasa 23 Jun 2020 14:04 WIB

Syarat Pencairan Anggaran untuk Penyediaan Barang Ditambah

Tambahan syarat dilakukan karena banyak penolakan barang dari K/L di daerah.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas memberikan syarat tambahan pencairan anggaran untuk kementerian/lembaga (K/L) yang ingin menyerahkan barang kepada masyarakat atau pemerintah daerah. Syarat tersebut adalah surat persetujuan dari calon penerima.
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas memberikan syarat tambahan pencairan anggaran untuk kementerian/lembaga (K/L) yang ingin menyerahkan barang kepada masyarakat atau pemerintah daerah. Syarat tersebut adalah surat persetujuan dari calon penerima.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas memberikan syarat tambahan pencairan anggaran untuk kementerian/lembaga (K/L) yang ingin menyerahkan barang kepada masyarakat atau pemerintah daerah. Syarat tersebut adalah surat persetujuan dari calon penerima.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, persyaratan tambahan tersebut mengingat banyak daerah ataupun masyarakat yang menolak barang dari K/L. Beberapa alasannya adalah mereka memang tidak membutuhkan barang tersebut, belum menjadi prioritas saat ini, atau tidak memiliki biaya tambahan untuk pemeliharaan barang. 

Dampaknya, anggaran yang sudah dibelanjakan K/L itu tidak efektif. "Jumlahnya sampai triliunan untuk anggaran yang sudah dibelanjakan, tapi ternyata masyarakat atau daerah tidak bisa menerimanya," kata Sri dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR mengenai Reformasi Penganggaran, Rabu (23/6).

Kondisi tersebut sudah menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Melihat besaran dampak yang ditimbulkan, Sri menekankan, Kemenkeu bersama Bappenas akan tegas untuk menambah persyaratan belanja K/L yang ditujukan bagi masyarakat atau pemda.

Menurut Sri, mismatching ini terjadi karena K/L memiliki tekanan besar dari Presiden maupun masyarakat untuk mengimplementasikan visi misi Presiden. Tapi, pada akhirnya, ketika K/L ingin mencapai ke tujuan tersebut, mereka belum melakukan sinkronisasi dengan preferensi dan prioritas daerah.

Sri mengakui, sistem politik Indonesia dari sisi otonomi daerah membuat proses koordinasi K/L dengan masyarakat dan pemda menjadi tantangan berat. "Seringkali dalam proses penganggaran sudah selesai, tapi koordinasi belum settle. Makanya kami sampaikan harus ada (surat persetujuan masyarakat atau pemda sebagai calon penerima)," tuturnya.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Fraksi PAN Jon Erizal menjelaskan, pemerintah pusat harus memastikan keberadaan alat kontrol terhadap rencana pembangunan di daerah. Apabila isu mismatch terus dibiarkan, dampaknya bisa besar terhadap anggaran maupun pembangunan secara nasional.

Jon menjelaskan, pihaknya sempat bertanya ke Mantan Menteri PPN/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengenai hal serupa. Saat itu, Bambang menyebutkan, satu-satunya alat kontrol pemerintah pusat adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). "Tapi, menurut saya, Bappeda tunduknya ke Gubernur, bukan pusat. Ini memang harus diatasi," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement