Selasa 23 Jun 2020 12:56 WIB

Murtadkah Muslim Berpaham Komunis? Ini Kata Buya Hamka

Tentang komunisme yang tidak mempercayai Tuhan telah menjadi pembahasan lama.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Ani Nursalikah
Murtadkah Muslim Berpaham Komunis? Ini Kata Buya Hamka
Foto: EPA-EFE/HARISH TYAGI
Murtadkah Muslim Berpaham Komunis? Ini Kata Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunisme menjadi ideologi yang dilarang di Indonesia. Bukan saja karena mengajarkan pertentangan kelas sosial, agitasi dan propaganda politik, lebih dari itu komunisme juga bertentangan dengan Pancasila terkhusus sila pertama. Dari sisi teologi, komunisme menentang prinsip ketuhanan. Karenanya orang yang berpaham komunisme tidak mengenal adanya Tuhan.   

Lantas bagaimana status seorang Muslim yang berpaham komunisme? Apakah ia menjadi murtad atau keluar dari Islam? Apakah orang tersebut harus bersyahadat kembali untuk memeluk Islam? Dan bolehkah seorang Muslim mempelajari ideologi komunisme?

Baca Juga

Tentang komunisme yang tidak mempercayai Tuhan sejatinya telah menjadi pembahasan sejak lama. Buya Hamka dalam majalah Gema Islam pada 15 Mei 1963 menegaskan, paham komunis tidak mengakui adanya Tuhan atau ateis. Orang berpaham komunis menganggap Tuhan adalah ciptaan manusia saja. 

Buya Hamka menyebut ketika ada orang berpaham komunis, namun masih mengerjakan ibadah sholat dan puasa maka orang itu adalah komunis yang tidak baik atau belum matang disebut komunis. Bahkan Buya Hamka menduga aktivitas ibadahnya sebagai  siasat untuk menarik orang-orang lain. Dalam artian berpura-pura sholat supaya orang menganggap komunis itu tidak atheis. Buya Hamka berpendapat bila orang Islam menganut paham komunis menandakan keislamannya belum matang. 

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, KH Abdul Moqsith Ghazali menjelaskan dalam Alquran tidak dikenal istilah komunisme. Dalam Alquran hanya dikenal istilah orang beriman dan tidak beriman. Menurutnya, komunisme dalam sebuah mazhab ekonomi tak bersangkutan dengan status orang tersebut murtad atau tidak. 

"Jika yang dimaksudkan komunisme atau sosialisme adalah satu mazhab ekonomi sebagai lawan dari kapitalisme, maka kategorisasi itu tak bersangkut paut dengan seseorang itu murtad atau tidak. Di Indonesia sendiri ada fenomena orang seperti Haji Misbah. Dia orang Islam, tapi anggota komunis," kata Kiai Moqsith. 

Namun demikian, Kiai Moqsith menjawab ideologi komunis yang tidak mempercayai Tuhan adalah disebut atheis. "Itu ateisme" ujarnya.

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas menjelaskan dalam sistem ekonomi, komunisme meniadakan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Yang boleh memiliki alat-alat produksi tersebut hanya negara. Buya Anwar menjelaskan konsep yang ada dalam paham komunisme sangat berbeda dengan yang ada dalam sistem ekonomi liberalisme kapitalisme yang mengakui dan menjunjung tinggi kepemilikan individu yang bersifat absolut. 

Komunisme juga berbeda dengan sistem ekonomi islam dan pancasila yang mengakui kepemilikan individu terhadap alat-alat produksi dan lainnya. Namun, kepemilikan tersebut tidak bersifat absolut karena mereka harus mempertanggungjawabkan apa yang didapat dan pergunakan tersebut nanti kepada Allah.

"Dan paham komunisme dalam perkembangannya akhirnya sangat kental dengan warna atheistik atau anti-Tuhan dan antiagamanya seperti yang terdapat dalam pandangan marxisme dan leninisme," katanya.

Maka menurut Buya Anwar, seorang Muslim yang sampai bersikap anti pada ketuhanan dan menjalankan tata cara hidup ideologi komunis jelas menjadi murtad dan harus bersyahadat kembali. "Kalau dia sampai kepada bersikap anti-Tuhan ya jelas saja (murtad dan harus bersyahadat untuk kembali pada Islam). Tapi kalau dia tetap mengakui adanya Allah dan beribadah kepadanya, tapi punya pandangan yang sama dengan pandangan yang ada dalam paham komunisme maka mereka cukup kembali dengan bertobat," katanya. 

Sementara itu, menurut Buya Anwar, mempelajari paham komunisme sebatas untuk mengetahui tidak menjadi persoalan. Kendati demikian orang tersebut harus memiliki bekal ilmu dan iman yang kuat.

"Kalau untuk mengetahui saja tidak masalah tapi sebaiknya yang melakukannya adalah orang yang sudah kuat imannya dan sudah luas pengetahuannya terhadap ajaran Islam sebab kalau tidak seperti itu dikhawatirkan mereka tertarik  dengan paham tersebut sehingga bisa-bisa merusak diri dan agamanya," katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement