Selasa 23 Jun 2020 06:57 WIB

Yulio Muslim da Costa, Mualaf yang Belajar Sampai Madinah

Yulio Muslim da Costa menjadi mualaf lalu belajar Islam sampai ke Madinah.

Yulio Muslim da Costa, Mualaf yang Belajar Sampai Madinah. Foto: Ustaz Yulio Muslim da Costa, mualaf dan hafiz Alquran 30 juz pimpinan Pesantren Bina Madani Bogor
Foto: foto damanhuri zuhri/republika
Yulio Muslim da Costa, Mualaf yang Belajar Sampai Madinah. Foto: Ustaz Yulio Muslim da Costa, mualaf dan hafiz Alquran 30 juz pimpinan Pesantren Bina Madani Bogor

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --  Kesungguhan dalam belajar agama Islam dilakoni oleh Yulio Muslim da Costa, seorang mualaf kelahiran Timor Timur (Timor Leste). Hasilnya, mampu menghafal Alquran sebanyak 30 juz dan menuntut ilmu sampai ke Madinah, Arab Saudi.

Yulio da Costa Freitas adalah nama lahirnya. Yulio terlahir pada 5 Januari 1977 di Dusun Baruwali, Lautem, Timor Timur. Awalnya, ia adalah seorang penganut agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat di daerahnya. Dan, dia aktif mengikuti kegiatan keagamaannya.

Baca Juga

Selain taat dengan keyakinannya, ia juga dipercaya sebagai pembantu pemuka agama dalam setiap kegiatan rutinitas di rumah ibadah. Seiring waktu, keimanannya mulai goyah. Setelah tiga tahun membantu pastor di gereja, Yulio mengaku sering mendengar bisikan di antara teman-temannya yang ragu akan kebenaran agama yang dipeluknya.

Terlebih, sanak saudaranya sudah banyak yang memeluk Islam. Hati Yulio pun semakin gundah. Perlahan-lahan keyakinannya terhadap agama yang dianutnya mulai meluntur. Ia pun mulai melirik agama Islam. Acara siraman rohani agama Islam yang ditayangkan televisi nasional mulai membetot perhatiannya.

Jalan menuju Islam akhirnya terbuka. Suatu hari, Ustadz Zakaria Fernandes, salah satu pamannya yang menjadi dai di Lautem, mulai mendekati dan mengajaknya untuk masuk Islam. Yulio pun tertarik dengan ajakan sang paman. Terlebih, dengan masuk Islam ia memiliki kesempatan untuk bersekolah di Pulau Jawa.

Tekadnya untuk memeluk Islam sempat terbentur keluarga. Kedua orang tua dan sebagian keluarganya menentang niat Yulio untuk pindah agama. Namun, halangan itu tak menyurutkan tekad bulatnya untuk menjadi seorang Muslim. Keseriusannya untuk berpindah akidah akhirnya mendapat restu dari kedua orang tuanya.

Sebelum Yulio mengucapkan dua kalimat syahadat, jumlah pemeluk Islam di kampung halamannya masih bisa dihitung jari. Ia mengaku pernah menyaksikan perayaan Idul Fitri di kampungnya hanya diikuti tak lebih dari 20 orang. 

Yulio akhirnya hijrah dari tanah kelahiran dan agama yang dulu dianutnya. Ia bersama Ustadz Zakaria berangkat ke Kota Dili, ibu kota Timor Leste sekarang. Sebelumnya, mereka sempat singgah di Kota Bau Kau. Di kota itulah, Yulio masuk Islam dan mengucap dua kalimat syahadat di depan Ustaz Zakaria.

photo
Yulio Muslim da Costa sedang mengajar - (damanhuri zuhri/rep)

Peristiwa penting bagi kehidupan Yulio itu terjadi pada 28 Juni 1993, beberapa saat sebelum waktu Maghrib tiba. Sejak itu, ia hanya ingin dipanggil dengan nama Muslim, karena namanya telah berubah dari Yulio da Costa Freitas menjadi Yulio Muslim da Costa.

Setelah menjadi Muslim, ia sempat bertanya kepada sang paman, apa yang harus dilakukan di awal keislamannya? Sang paman pun hanya berujar singkat agar Muslim tak terbebani, Ikuti saja apa pun yang imam lakukan dalam shalat.

Sejak saat itu, Muslim selalu mengikuti setiap gerakan yang dilakukan imam, bahkan di saat sholat dan imam selesai, kemudian sang imam berzikir sambil menggerak-gerakkan bibirnya. Padahal, saat itu saya tak tahu apa yang diikuti itu. "Terkadang kalau mengingat kenangan itu, saya selalu menertawakan diri sendiri," tuturnya sembari tersenyum.

Sebelum berangkat ke Pulau Jawa, hampir dua pekan lamanya ia tinggal di Kota Dili. Muslim mengaku sempat gelisah karena temen-temennya dari Kabupaten Moro mulai berdatangan. Belum ada satu pun yang tahu di antara mereka kalau dirinya telah pindah keyakinan.

Untuk menutupinya, ia berusaha bersikap biasa terhadap mereka. Bahkan karena ajakan teman-temannya, ia sempat tergoda kembali untuk melakukan judi. Satu hari sebelum keberangkatan ke Pulau Jawa pun ia masih sempat bermain judi di Pasar Bekora, sampai sedikit bekal dari keluarganya pun habis. Akhirnya, Muslim pun berbohong dan mengaku kecopetan.

Kapal Kalimutu membawanya ke Pulau Jawa. Ia lalu tinggal di salah satu Pondok Pesantren Paciran, Lamongan, Jawa Timur, tempat Ustaz Zakaria pernah menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Di Paciran, Muslim sempat menimba ilmu sambil menunggu jemputan dari Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta pimpinan KH Umar Budihargo.

Setibanya di Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta, Muslim mengisi hari-harinya dengan mempelajari agama Islam. Berbekal semangat tinggi, ia akhirnya mampu membaca tulisan Arab. Hanya dalam hitungan tiga pekan, Muslim sudah menamatkan buku Iqra. Setelah bisa membaca tulisan Arab, sedikit demi sedikit ia mulai menghafal surat-surat pendek.

Ketekunannya menghafal Alquran berbuah manis. Selama di pesantren itu ia mampu menghafal sembilan juz Alquran. Melihat semangat Muslim yang begitu tinggi, KH Umar Budihargo mengirimnya ke salah satu pondok pesantren khusus tahfiz selama enam bulan.

Sekembalinya dari pondok tahfiz, Muslim mengikuti ujian SMP, dan dia lulus dengan hasil yang memuaskan. Sering kali dalam shalat-shalat malam, Muslim menangis mensyukuri hidayah Allah. Ia juga kadang sering berdoa meminta kepada Allah agar tetap istiqamah untuk belajar agama Islam lebih mendalam lagi.

Doanya terkabul. Muslim menjadi salah satu santri yang ditunjuk untuk mengikuti tes seleksi melanjutkan studi ke kota Nabi SAW, yaitu Madinah al-Munawarah. Tanpa sengaja, Muslim sempat bertemu dan berbincang-bincang langsung dengan salah satu syekh penguji dari Madinah. Bermodalkan bahasa Arab sebisanya, Muslim memberanikan diri menceritakan sebagian dari kisah hidupnya.

Sang syekh sangat tertarik dengan cerita kehidupan dan kemualafannya. Ulama dari Madinah itu meminta Muslim untuk membawa ijazah dan ingin mengujinya langsung. Sembari menunggu pengumuman hasil tes penerimaan dari Madihah, KH Umar Budihargo memberi amanah kepada Muslim untuk memegang pondok di Gunung Kidul, Karangmojo, Yogyakarta pada 1997.

Setahun kemudian, pengumuman hasil tes itu keluar. Ia menjadi salah seorang peserta yang terpilih untuk menimba ilmu di Kota Madinah. Pada Ramadhan tahun 1999, ia sempat pulang ke Tanah Air. Ia bermaksud untuk mengajak kedua orang tua dan adik-adiknya untuk memeluk Islam.

Saat itu pascareferendum keluarganya sedang mengungsi di Kupang, NTT. Muslim pun bertemu dengan keluarganya, dan ia menyampaikan ajakannya itu. Namun, hidayah hanya milik Allah SWT. Saat itu, keluarganya belum merespons dakwahnya untuk memeluk Islam.

Ia akhirnya kembali ke Madinah dengan hati yang sedikit kecewa. Meski begitu, Muslim tak pernah berhenti berdoa agar keluarganya segera dibukakan pintu hatinya untuk menerima Islam. Doanya akhirnya dikabulkan. Pada 2003, keluarganya berkunjung ke Yogyakarta, dan pada pertengahan tahu itu pula kedua orang tua dan empat adiknya bersyahadat dan memeluk Islam.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement