Senin 22 Jun 2020 21:01 WIB

Bawaslu Gandeng Facebook Awasi Medsos Selama Pilkada

Bawaslu gandeng Facebook Awasi kampanye di Medsos selama Pilkada

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bekerja sama dengan Facebook akan mengawasi media sosial selama Pilkada 2020. Pengawasan terutama dalam pelaksanaan kampanye di media sosial yang penggunaannya diperkirakan tak terbatas saat pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini.

"Kita sedang bekerja sama Facebook. Jadi Facebook itu nanti akan membedakan antara news dan iklan," ujar Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar saat dihubungi Republika.co.id, Senin (22/6).

Baca Juga

Fritz menjelaskan, Facebook akan membedakan berita, iklan, maupun percakapan generik di antara pengguna media sosial. Sehingga akan diketahui akun mana saja yang menayangkan iklan pasangan calon atau partai politik beserta biaya pemasangan iklan tersebut.

Ia menyebutkan, Facebook berencana akan meluncurkan daftar biaya iklan politik yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah di Facebook maupun Instagram. Dengan demikian, biaya iklan yang dihabiskan calon kepala daerah bisa terlihat sebagai bagian dari akuntabilitas politik.

"Memang dalam pilkada tidak mengenal berapa pembatasan dana yang dipakai untuk iklan, tetapi itu bisa menjadi bagian untuk akuntabilitas saat pelaporan dana kampanye," katanya.

Di sisi lain, ia pun tak menampik terhadap potensi bermunculannya buzzer atau pendengung di media sosial selama Pilkada 2020. Menurut Fritz, Facebook dan Bawaslu akan bekerja sama menyisir unggahan atau konten yang mengandung berita bohong atau hoaks maupun ujaran kebencian atau hate speech.

Fritz mengatakan, setiap postingan yang mengandung unsur informasi palsu/bohong dan ujaran yang memprovokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu lain akan ditindak. Mulai dari take down terhadap konten tersebut, pembekuan akun media sosial, hingga pelaporan dugaan tindakan pidana.

"Bisa diturunkan apabila (unggahan) mengandung hoaks, hate speech. Kalau itu dilakukan kita bisa minta take down, bisa kita minta untuk dipidana," kata Fritz.

Sementara percakapan biasa antarpengguna media sosial tanpa hoaks dan hate speech dianggap sekadar ekspresi masyarakat dalam berpolitik. Ia menuturkan, masyarakat memiliki kebebasan berpendapat yang disampaikan dalam media sosial melalui dukungannya kepada salah satu calon kepala daerah.

Selanjutnya, Fritz meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendetailkan pengaturan tata cara dan prosedur pelaksanaan metode kampanye daring terutama media sosial. Sebab, menurutnya, kampanye yang bersifat pertemuan tatap muka akan dibatasi karena penerapan protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19.

Sehingga, calon kepala daerah akan berusaha memanfaatkan kampanye daring melalui media sosial, sedangkan undang-undang tak mengatur lebih rinci terkait pelaksanaan kampanye daring ini. Menurut Fritz, KPU dapat mengatur lebih teknis melalui Petaturan KPU, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis, atau surat edaran.

"Mungkin bisa dibatasi misalnya jumlah akun media sosial. PR-nya adalah kita berharap KPU bisa memberikan pengaturan yang lebih detail, misalnya jumlah antara akun resmi, kapan dia mulai menampilkan, kapan dia harus tutup," jelasnya.

Diketahui, tahapan pilkada serentak tahun 2020 ditunda sejak Maret lalu karena pandemi Covid-19. Sehingga pemungutan suara di 270 daerah akan digelar pada 9 Desember, bergeser dari jadwal semula 23 September. Tahapan pemilihan lanjutan mulai dilaksanakan pada 15 Juni 2020.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement